REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Kamran Dikarma
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Mike Pompeo, mendesak Myanmar mengambil langkah konkret untuk menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap etnis Rohingya. Hal itu dilakukan Pompeo ketika menghadiri sidang Majelis Umum PBB pada Kamis (28/9).
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Heather Nauert, mengatakan, Washington mendukung proses transisi demokratis, perdamaian, dan rekonsiliasi nasional di Myanmar. Hal itu tentu dapat dilakukan bila terdapat tindakan nyata dalam menyelesaikan krisis Rohingya.
Menteri (Luar Negeri AS) mendesak Pemerintah Myanmar mengambil langkah konkret untuk menyelidiki pelanggaran HAM yang dicatat oleh Laporan Dokumentasi AS dan temuan Misi Pencari Fakta Independen PBB. "Juga meminta pertanggungjawaban pasukan keamanan dan yang lain bertangung jawab atas tindakan ini," kata Nauert dikutip laman Anadolu.
Awal pekan ini, Departemen Luar Negeri AS telah menerbitkan laporan tentang krisis Rohingya di negara bagian Rakhine, Myanmar. Laporan tersebut disusun berdasarkan hasil wawancara lebih dari seribu etnis Rohingya yang mengungsi di Bangladesh.
Dalam laporan itu, AS menyebut kekerasan terhadap etnis Rohingya dilakukan secara terkoordinasi dan terencana. Selain itu, laporan juga menyatakan kekerasan terhadap Rohingya sengaja dilakukan untuk mengusir mereka dari Myanmar.
"Survei ini mengungkapkan bahwa kekerasan di Rakhine Utara sangat ekstrem, berskala besar, meluas, dan tampaknya diarahkan untuk meneror dan mengusir penduduk Rohingya," kata laporan tersebut.
Walaupun tak secara eksplisit menyatakan apakah yang dilakukan militer Myanmar merupakan genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan, tapi laporan itu memperkuat laporan-laporan tentang krisis Rohingya.
Pada akhir Agustus lalu, Tim Misi Pencari Fakta Independen PBB telah menerbitkan laporan tentang krisis Rohingya yang terjadi di Rakhine. Dalam laporan itu, disebut bahwa apa yang dilakukan militer Myanmar terhadap etnis Rohingya mengarah pada tindakan genosida.
Laporan itu menyerukan agar para pejabat tinggi militer Myanmar, termasuk panglima tertinggi militer Jenderal Min Aung Hlaing, diadili di Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Pada 18 September lalu, ICC juga telah meluncurkan penyelidikan awal terhadap Myanmar.
Jaksa Penuntut ICC Fatou Bensouda mengatakan, pada tahap ini pihaknya akan melakukan pemeriksaan pendahuluan terkait pemindahan paksa orang-orang Rohingya. Termasuk perampasan hak-hak fundamental mereka.
Kasus seperti pembunuhan, kekerasan seksual, penghancuran, dan penjarahan yang dialami Rohingya juga turut tercakup dalam pemeriksaan. Selain laporan Departemen Luar Negeri AS dan PBB, kejahatan terhadap etnis Rohingya juga telah didokumentasikan organisasi hak asasi manusia (HAM) internasional.
The Ontario International Agency (OIDA), misalnya, telah memuat hal itu dalam laporannya yang berjudul “Forced Migration of Rohingya: The Untold Experience”. Dalam laporan itu, OIDA menyebut, sejak 25 Agustus 2017, hampir 24 ribu Rohingya dibunuh pasukan keamanan Myanmar. Lebih dari 114 ribu orang lainnya mengalami penganiayaan dan pemukulan. Kemudian, sekitar 18 ribu wanita Rohingya telah menjadi korban pemerkosaan.
Kelompok HAM Amnesty International turut mendokumentasikan kejahatan tersebut. Mereka mengatakan, penganiayaan dan kejahatan yang dialami Rohingya telah menyebabkan terjadinya gelombang pengungsi. Lebih dari 750 ribu Rohingya melarikan diri ke Bangladesh sejak kekerasan meletus pada Agustus tahun lalu.
Baca Juga: Ada Ancaman Iran, AS Tarik Dubes dari Irak
(ed: setyanavidita livikacansera)