Senin 01 Oct 2018 16:32 WIB

Cerita Warga Donggala Hadapi Detik-Detik Tsunami

Perahu warga sampai ke permukiman karena terseret tsunami.

Red: Nur Aini
Suasana jembatan kuning pada Sabtu (29/9). Jembatan ini ambruk akibat gempa 7,4 SR dan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (28/9).
Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Suasana jembatan kuning pada Sabtu (29/9). Jembatan ini ambruk akibat gempa 7,4 SR dan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (28/9).

REPUBLIKA.CO.ID, PALU -- Pada Jumat (28/9) sore itu, Andi Rainaldi dan istrinya, Flarahanie, sedang menikmati pisang goreng di rumahnya di Boya, kampung kecil di tepi pantai di Donggala, Sulawesi Tengah.

Pada saat orang dewasa berbincang, anak-anak asyik bermain di halaman. Di antaranya anak Rainaldi bernama Andi Rafi Alfariel dan sepupunya, Sakinah (6 tahun) dan Husna (9 tahun). Namun, kehidupan normal mereka ini segera berakhir begitu gempa bermagnitude 7,4 SR menghantam kawasan itu.

Donggala merupakan kota terdekat dengan pusat gempa, hanya sekitar 30 kilometer. Di Donggala, Kampung Boya adalah salah satu daerah terdampak yang paling parah.

Saat kejadian, dan rumah mulai bergoyang, tak semua penghuninya sempat melarikan diri sebelum bangunan tersebut runtuh ke laut. Ketiga bocah yang sedang bermain tadi, sama sekali tak punya peluang menyelamatkan diri. Kurang dari setengah jam kemudian, datanglah tsunami, yaitu air laut dengan kecepatan tinggi, menghantam Kampung Boya.

Kepada jurnalis ABC, Rainaldi mengatakan, seluruh desanya hancur. Tidak satu pun rumah yang kini tersisa. Tujuh anggota keluarga Rainaldi hilang, termasuk anaknya, Andi Rafi, ponakannya, Sakinah dan Husna, seorang anak lainnya dan bibinya. Para korban itu terperangkap di bawah reruntuhan rumah atau hanyut ke laut ketika tsunami menerjang.

Rainaldi dan istrinya menghabiskan beberapa hari mencari putra dan kerabatnya itu. Hari Ahad kemarin, ketika jurnalis ABC tiba di Donggala, mereka sudah pasrah. Beberapa mayat sudah terlihat mengambang di pantai. Beberapa jam kemudian, pasangan suami istri ini menemukan mayat anak mereka di masjid kampung itu, yang telah dijadikan tempat menampung mayat-mayat korban.

"Saya bahkan tidak bisa mengenali lagi wajah anakku. Hanya pakaiannya," ujar Rainaldi. "Secara fisik tidak bisa lagi dikenali."

"Saya sangat sedih. Hancur rasanya. Dia anakku satu-satunya. Satu-satunya. Dia masih kecil begitu," katanya.

Sampai kemarin, setidaknya 20 orang dilaporkan meninggal di Donggala, dan jumlah yang sama dilaporkan masih hilang. Mereka yang kehilangan anggota keluarganya mendatangi masjid itu sepanjang hari kemarin.

Di sini, banyak mayat yang disemayamkan. Pemandangannya memilukan. Ada mayat yang tangannya masih menjulur dan terbuka lebar, mungkin di saat-saat terakhir mereka masih berusaha menahan reruntuhan atau gelombang tsunami.

Perahu di puing-puing rumah

Di sepanjang pantai Donggala, tampak reruntuhan bangunan yang luluh lantak. Atap-atap seng, perabotan, dan barang-barang berserakan di jalanan. Di sana-sini tampak foto-foto keluarga.

Salah satu rumah yang jadi korban terlihat bergeser fondasinya akibat tertabrak perahu besar akibat tsunami. Perahu itu kini berada di antara puing-puing rumah tersebut.

Pemilik rumah, Siswanto, mengatakan bahwa anak, istri, dan cucunya semua berada dalam rumah saat gempa terjadi. Mereka berhasil lari keluar. Tapi, tsunami menyeret anaknya ratusan meter sebelum mencapai ketinggian. Dia selamat.

Pada Ahad kemarin, regu penolong berusaha memindahkan perahu tersebut dari sana. Sisa-sisa rumah Siswanto pun hancur. "Saya tak tahu harus pergi ke mana," ujar Siswanto kepada jurnalis ABC, Anne Barker.

"Kini, kami akan ke kamp pengungsi, dan mungkin nanti tinggal dengan keluarga di Palu," katanya.

Ribuan warga sampai kini masih tidur di tenda dan di jalan-jalan, lapangan olahraga atau di tanah lapang lainnya.

Kerusakan dan korban tewas jauh lebih tinggi di Palu, satu jam perjalanan dari Donggala. Tsunami menghantam pantai yang membentang di kota itu. Ratusan gempa susulan terjadi sejak gempa besar pada Jumat malam.

Sebagian besar Kota Palu masih dalam kegelapan di malam ketiga karena listrik yang padam. Infrastruktur komunikasi juga rusak parah.

Penduduk yang rumahnya selamat dari gempa pun memilih tidur di luar, takut dengan gempa susulan. Hotel-hotel pun melarang tamunya tidur di dalam kamar.

Sejauh ini lebih dari 830 orang dilaporkan meninggal dunia. Namun, jumlah tersebut diperkirakan bertambah. Menyusuri jalan-jalan Kota Palu kemarin, ABC mencium bau mayat membusuk, baik dari yang sudah didapat maupun yang masih dicari.

Diterbitkan oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC Australia.

sumber : http://www.abc.net.au/indonesian/2018-10-01/warga-donggala-kisahkan-ngerinya-saat-tsunami-datang/10324706
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement