REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Seorang pekerja seni dan juga pegiat perempuan Amal Fathy telah dijatuhi hukuman penjara dua tahun di Mesir. Hal itu setelah berbicara mengenai pelecehan seksual dalam rekaman video yang dipasang di Facebook.
Dia menjadi perempuan kedua di Mesir yang dijatuhi hukuman penjara karena mengkritik perlakuan terhadap perempuan di sana.
Selain didenda karena 'menghina publik', Fathy dijatuhi hukuman dua tahun penjara karena 'menyebarkan berita bohong' dan 'memiliki bahan tidak senonoh'. Dia membuat postingan di Facebook merinci bagaimana dia mendapat pelecehan seksual ketika hendak pergi ke sebuah bank.
Kelompok HAM termasuk Amnesty International, mengatakan hal itu adalah contoh penindasan politik di Mesir dan semakin memburuknya situasi bagi perempuan di negeri tersebut. Dalam perjalanannya untuk mengunjungi bank Mei lalu, Amal Fathy mendapatkan perlakuan buruk dari pria di Mesir dalam sebuah video yang dimuat di Facebook.
"Bahkan polisi yang menjaga bank tersebut, berdiri dan memegang alat vitalnya sendiri." katanya dalam video tersebut.
"Dia membuat komentar jorok dan berbicara kasar dengan saya." katanya.
"Di mana di dunia ini ada polisi yang melecehkan perempuan. Pergilah ke neraka hai para polisi korup.!"
Dua hari setelah Fathy memasang video tersebut, polisi mendatangi rumahnya, menahan dia, suaminya Mohammed Lofty, dan anak pasangan tersebut yang berusia tiga tahun. Suami dan anaknya kemudia dibebaskan, namun Fathy tetap ditahan.
Di akhir pekan, dia didenda karena pencemaran nama baik, dan pengacaranya Ramadan Mohamed mengatakan dia dipenjara atas dua tuduhan lainnya.
"Hukuman dijatuhkan berdasarkan dua tuduhan, pertama menyebarkan berita palsu, dan kedua menerbitkan bahan video yang berisi gambar tidak senonoh." kata Mohamed kepada ABC.
Hukuman itu sebenarnya memungkinkan Fathy dibebaskan sambil menunggu keputusan banding atas kasusnya. Namun dia ditahan karena ditahan dengan tuduhan lain yaitu menjadi anggota organisasi teroris.
Peneliti Amnesty International Hussein Baoumi mengatakan bahwa pengacara Fathy tidak diberitahu organisasi teroris mana yang disangkutkan dengan Fathy karena menyangkut keamanan negara.
"Penahanannya karena menyampaikan pendapatnya merupakan tamparan terhadap kebebasan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi Mesir, dan juga kewajiban internasional dan janji Mesir untuk memerangi pelecehan seksual," katanya.
Baoumi mengatakan Fathy adalah salah seorang yang menjadi sasaran dalam usaha pemerintah membungkam para penentang di Mesir. Suami Fathy adalah pengacara HAM dan direktur sebuah organisasi HAM.
Dia secara aktif sudah melakukan penentangan terhadap penahanan istrinya. "Tuduhan ini sama sekali tidak memiliki dasar." katanya.
Parlemen Mesir telah meloloskan UU bulan Juli lalu dengan sasaran akun media sosial yang memiliki lebih dari 5.000 follower yang sekarang dianggap sebagai media. Mereka bisa diadili bila ditemukan menyebarkan 'berita palsu' atau membuat agitasi yang menyebabkan kerusuhan.
Presiden Abdel Fattah el-Sisi mengesahkan UU tersebut bulan Agustus. Ini adalah kasus kedua di mana pemerintah Mesir menghukum perempuan yang mengeluhkan perilaku pria di sana. Pada Juni lalu, seorang turis asal Lebanon Mona Al Mazbouh ditahan setelah memasang video di Facebook di mana dia mengeluhkan mengenai pelecehan seksual dialaminya di Kairo.
Lihat berita selengkapnya dalam bahasa Inggrris di sini