Selasa 02 Oct 2018 08:54 WIB

Erdogan: Di Bawah Trump, AS Telah Kehilangan Kredibilitas

AS lebih memilih jalan sanksi dibanding bernegosiasi.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Teguh Firmansyah
Recep Tayyip Erdogan
Foto: reuters
Recep Tayyip Erdogan

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menilai Amerika Serikat (AS) telah kehilangan kredibilitasnya sejak Presiden AS Donald Trump melancarkan perang perdagangan global. Hal itu dikatakan Erdogan menyusul sikap Washington yang menyetujui sanksi Turki dan berusaha mengisolasi Iran.

"AS telah memulai jalan yang salah dalam menyelesaikan masalah politik, bukan negosiasi, tetapi melalui bahasa pemerasan dan ancaman," ujar Presiden Erdogan kepada parlemen Turki seperti dikutip laman Russia Today, Selasa.

Erdogan mengatakan, Washington kehilangan kredibilitasnya karena terlibat dan memulai perang dagang dengan dunia. Sebut saja, Turki, Rusia, Cina, Iran dan negara-negara lain, baru-baru ini terkena sanksi dari Trump.

Pemimpin Turki itu juga melihat situasi Iran yang dinilainya tidak adil. AS mengancam Iran setelah Trump menarik diri dari perjanjian nuklir pada Mei lalu. Menurutnya, permasalahan antar negara dapat dilakukan dengan negosiasi damai di bawah hukum internasional, bukan memakai sanksi-sanksi yang dinilainya tidak efektif. Sebab jika sanksi diberikan ke satu negara, maka akan memengaruhi negara tetangganya.

"Sangat penting bagi kami bahwa Iran tidak terisolasi dari keputusan politik yang membentuk masa depan kawasan ini," kata Erdogan. Dia juga meyakinkan anggota parlemen bahwa ekonomi Turki cukup kuat dan tidak akan menyerah pada ancaman dan serangan dari Amerika.

Baca juga, Erdogan: Turki Boikot Produk Elektronik AS, Termasuk Iphone.

Erdogan juga menilai, Washington mengabaikan sensifitas masalah Suriah dan menyebut Ankara bekerja sama dengan teroris. AS merupakan sekutu milisi Kurdi Irak dalam memerangi ISIS.

Namun, Ankara menganggap Partai Pekerja Kurdistan (PKK) sebagai kelompok teroris. Tujuan Turki, kata dia, untuk benar-benar menghapus kelompok-kelompok bersenjata Kurdi Irak utara.

Hubungan dua negara sekutu Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) ini memburuk dalam beberapa tahun terakhir. Hal itu dimulai dari Washington yang 'melindungi' Fethullah Gulen. Erdogan menganggap Gulen merupakan dalang dari kudeta pada 2016 lalu.  

Kemudian penangkapan pendeta AS, Andrew Brunson yang dituduh Turki teroris. Dan terakhir sanksi AS sebab Turki membeli persenjataan sistem rudal S-400 dari Rusia.

Washington pada Agustus kemarin juga menampar impor baja dan aluminium Turki bertarif 50 persen serta memasukkan daftar hitam para hakim negeri itu atas pelanggaran hak asasi manusia dalam kaitannya dengan kasus Brunson. Hal tersebut membuat mata uang nasional Turki, Lira merosot tajam.

Erdoan pun melalukan pembalasan dengan memberlakukan tarif pada 22 jenis barang Amerika senilai lebih dari 533 juta dolar AS. "Kami akan dengan tegas bertarung kepada negara yang mencoba menjatuhkan sanksi kepada kami, yang di mana mereka membenarkannya oleh beberapa pendeta," kata Erdogan.

Meskipun mengkritik AS, Presiden Erdogan kemudian menyatakan harapan bahwa kepemimpinan Paman Sam saat ini, cepat atau lambat akan mengubah sikap salahnya terhadap negaranya. "Hubungan bilateral akan normal kembali," tutup Erdogan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement