REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Sekretaris Jenderal Liga Dunia Muslim (MWL) Sheikh Mohammed Al-Issa meminta para pemimpin agama melakukan perjalanan ke Yerusalem. Nantinya, mereka akan melakukan kafilah perdamaian yang terdiri dari para utusan agama yang independen dari setiap afiliasi politik.
Dilansir dari Arab News pada Senin (8/10), Al-Issa mengatakan hal tersebut pada pembukaan konferensi kedua tentang perubahan budaya antara Amerika Serikat dan MWL di New York pada 4 Oktober. Konferensi yang dihadiri sekitar 400 pemimpin dan pemikir AS dari tiga agama yakni Yahudi, Kristen, dan Muslim.
“Konvoi ini harus mewakili tiga agama untuk mengunjungi semua tempat suci di Yerusalem. Krisis tidak dapat diatasi kecuali oleh orang-orang berpengaruh besar yang didukung dengan kebijaksanaan dan keadilan logis,” ujar Al-Issa.
Inisiatif perdamaian oleh kepala MWL yang berbasis di Mekah mengikuti seruan perdamaian para pemimpin agama Yahudi dan Kristen di Amerika. Presiden Institut Studi Antisemitisme dan Kebijakan Global, Charles Small mengatakan, korban antisemitisme terbesar di Amerika saat ini adalah Muslim.
Small mengatakan, mengutip dari penulis Yahudi dan penyintas Holocaust, Elie Wiesel, bahwa sementara antisemitisme dimulai dengan orang Yahudi itu tidak berakhir dengan orang Yahudi. Sementara mufti agung Mesir, Shawki Allam memusatkan perhatian pada perlunya intervensi positif. Ia berharap dapat membuat kontribusi positif dalam upaya menempatkan fondasi pendekatan holistik untuk dialog.
Presiden Dewan Fatwa Emirat Abdallah bin Bayyah juga berbicara tentang pendekatan agama untuk menoleransi yang lain. “Kami ingin semua agama dan pemeluknya, bergerak dari pengakuan sederhana terhadap yang lain ke panggilan Alquran untuk saling mengenal satu sama lain,” kata Bayyah.
Selain itu, Presiden Palestina Mahmoud Abbas juga menyerukan kepada Muslim dan Arab yang mengunjungi Yerusalem untuk menggalakkan perdamaian. Ia mengatakan, mengunjungi narapidana tidak melegitimasi para sipir. Melainkan, kunjungan semacam itu melambangkan normalisasi dengan Israel.
Sebelumnya, Al-Issa menyebut label ekstremisme dalam pidato penutupnya pada hari pertama konferensi. “Agama-agama besar tidak ekstrim secara alami dan pada saat yang sama, tidak ada agama yang bebas dari ekstremis yang percaya bahwa mereka hanya memiliki hak istimewa dengan kebenaran absolut,” kata Al-Issa.