REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Korea Selatan menarik kembali usulan mereka untuk mencabut sejumlah sanksi terhadap Korea Utara. Berbeda dari pernyataan Menteri Luar Negeri Korsel Kang Kyung-ah kepada parlemen Rabu (11/10), kemarin, Menteri Unifikasi Korea Cho Myoung-gyon mengatakan sampai saat ini Korsel belum mempertimbangkan mencabut sanksi Korut.
"Tidak ada peninjauan terperinci, tapi tetap, dalam mencari cara agar perdagangan dan kerja sama dan di tengah semakin banyak kemajuan hubungan dua negara Korea, kami telah mengambil tindakanya yang fleksibel," kata Myoung-gyon, seperti dilansir dari Yonhap, Kamis (11/10).
Pernyataan itu muncul berselang satu hari setelah Kang mengusulkan pencabutan sanksi kepada parlemen. Sanksi yang diberlakukan sejak 2010 usai kapal perang Korut Cheonan menembakan rudal yang menewaskan 45 orang nelayan Korsel.
Usulan tersebut mendapat kritikan dan penolakan dari anggota parlemen Korea. Beberapa anggota parlemen Korea pencabutan sanksi tersebut harus dilakukan setelah Korut meminta maaf atas serangan yang mereka lakukan pada tahun 2010.
"Harus ada tindakan yang relevan berkaitan dengan kejadian kapal perang cheonan, yang mana menjadi penyebab sanksi itu," kata Cho.
Sanksi pada 2010 itu melarang transaksi dalam bentuk apa pun antara Korsel dengan Korut kecuali bantuan kemanusiaan. Tapi banyak para ahli yang mengatakan sanksi tersebut tidak akan berdampak banyak karena tumpang tindih dengan sanksi yang diterapkan PBB kepada Korut.
Korsel berniat untuk mengembangkan perdagangan lintas batas dan kerja sama dengan tetangga mereka di tengah hubungan kedua negara yang kian menghangat. Sanksi tersebut menjadi salah satu penghambat kedua negara untuk menjalankan kerja sama ekonomi.
Amerika Serikat sudah memberi peringatan tidak ada sanksi yang dicabut dari Korut sebelum mereka sepenuhnya terbukti telah melakukan denuklirisasi. Presiden AS Donald Trump mengatakan Korsel tidak bisa mencabut sanksi Korut tanpa persetujuan AS.
Cho mengatakan pembicaraan dengan Korut dalam perjanjian membuat fasilitas ekonomi sebagai bagian dari persiapan untuk kerja sama lintas-batas sudah hampir selesai. Tapi dia tidak menjelaskan kapan dan bagaimana proses kerja sama ekonomi itu dilakukan.
Sementara itu, Cho juga optimistis dengan kemajuan program denuklirisasi Semenanjung Korea. Terutama setelah Donald Trum telah bertemu dengan Pemimpin Korut Kim Jong-un pada bulan Juni lalu dan direncanakan akan pertemuan kedua sebelum akhir tahun nanti.
"Kami berharap ada sejumlah kemajuan dalam pertemuan kedua antara Korut dan AS, ketika hasilnya datang mungkin akan berbeda dengan yang diharapkan jadi kami akan mempersiapkan segala skenario yang memungkinkan hubungan, perdangan dan kerja sama antar-Korea terus berjalan," kata Cho.
Ia juga berharap Korut untuk memiliki keinginan yang lebih besar lagi berkerja sama dengan masyarakat internasional kali ini. Menurutnya perilaku Korut kali ini berbeda dari perjanjian dan kesepakatan sebelumnya.
"Di masa lalu (tujuan Korut) adalah kemandirian, tapi sekarang Korut menekankan harus naik ke tingkat global, ini perubahan yang besar, dalam hal ini, hal yang dapat diambil dari Deklarasi Pyongyang dan hadir di acara gabungan 4 Oktober menunjukan Korut bergerak menuju kerja sama dengan masyarakat internasional," katanya.
Cho mengatakan perubahan sikap ini ia rasakan saat datang ke Pyongyang. Ia datang ke ibukota Korut tersebut untuk menghadiri acara perayaan kerja sama antar-Korea yang berlangsung sejak 2007.
Baca: Trump: Korsel tak Bisa Cabut Sanksi Korut Tanpa Disetujui AS