REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Cina secara perlahan mengubah hukum untuk melegitimasi penahanan ratusan ribu Muslim Uighur dalam sebuah kegiatan yang memicu kecaman internasional atas pelanggaran hak asasi manusia terhadap etnis minoritas.
Peraturan kontraterorisme yang telah diubah diadopsi di wilayah barat laut Xinjiang. Lokasi itu menjadi tempat tinggal sebagian besar warga Muslim Uighur. Pihak berwenang menyebut dapat menggunakan Pusat Pelatihan Keterampilan untuk menderadikalisasi orang-orang yang dicurigai menganut ekstremisme. Sementara di aturan sebelumnya tidak mengacu pada pusat pendidikan.
Aturan baru yang muncul menandai pertama kalinya Cina mengakui penggunaan pusat pendidikan untuk menahan penduduk Xinjiang dengan alasan transformasi melalui pendidikan. Pejabat Senior Cina sebelumnya mempertahankan bahwa pusat pendidikan ini untuk mengajarkan keterampilan kejuruan kepada penjahat kecil. Mereka juga membantah laporan bahwa lokasi tersebut digunakan untuk pendidikan ulang politik.
"Peraturan baru dibuat untuk membangun hubungan yang lebih mudah dijangkau antara pendidikan ulang dengan pelatihan keterampilan kerja," ujar seorang peneliti di kamp Xinjiang Adrian Zenz dilansir di WSJ, Jumat (12/10).
Kritik pun berkembang atas penahanan masal orang-orang Uighur di Cina. Sebuah laporan Kongres AS yang dirilis sebelumnya memperingatkan tentang situasi hak asasi yang mengerikan di Cina, khususnya pengintaian massal warga negara Uighur dan minoritas lainnya. Dalam panel Amerika Serikat pada Agustus lalu menemukan bahwa orang Uighur ditahan untuk waktu yang lama tanpa dakwaan atau pengadilan dengan dalih melawan terorisme dan ekstremisme agama.
Departemen Luar Negeri AS sedang mempertimbangkan sanksi untuk Cina terkait kasus tersebut. Sementara Komite Partai Komunis Xinjiang tidak memberikan komentar apapun.
Cina memulai penahanan massal itu sekitar dua tahun lalu sebagai bagian dari dorongan untuk memadamkan gerakan separatis Uighur yang disebut memiliki hubungan dengan para jihadis asing. Beberapa orang Uighur telah bergabung dengan ISIS di Irak dan Suriah.
Salah satu anggota keluarga menyebut kampanye itu telah menjaring orang-orang Uighur tua dalam kesehatan yang buruk dan penduduk lain yang tidak memiliki catatan kriminal. Bahkan beberapa orang meninggal di kamp. Meski demikian Cina menolak untuk mengatakan berapa banyak orang yang berada di pusat pendidikan tersebut. Sebuah kelompok hak asasi manusia memperkirakan satu juta orang telah ditahan.
Aktivis hak asasi manusia mengatakan revisi amandemen itu adalah upaya retroaktif untuk membenarkan secara hukum kamp-kamp pendidikan. "Jika ada klaim, ini sah menurut hukum, betapapun tipisnya klaim, saya takut itu hanya akan mendorong lebih banyak detensi dan perluasan pusat-pusat ini," kata Eva Pils, seorang ahli dalam hukum dan hak asasi manusia Tiongkok di King's College London.
Maya Wang, seorang peneliti senior Cina di Human Rights Watch di Hong Kong, mengatakan penahanan itu sewenang-wenang dan tanpa proses hukum. "Pemerintah daerah Xinjiang tidak diberdayakan di bawah konstitusi Tiongkok untuk mengesahkan penahanan di pusat pendidikan politik," katanya.
Mr Zenz, peneliti, mengatakan adanya peraturan yang baru tentang bagaimana melakukan pendidikan ulang itu menunjukkan rencana pemerintah Cina untuk tetap melanjutkan rencananya, meskipun ada reaksi internasional. "Secara keseluruhan, ini jelas memperkuat dasar hukum untuk jenis pendidikan ulang yang pada dasarnya telah diakui oleh negara. Ini menunjukkan bahwa negara bertekad untuk melanjutkan kampanye saat ini," katanya.
Baca: Abaikan Cina, Malaysia Bebaskan 11 Tahanan Muslim Uighur