REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Jafar Alam merupakan salah satu pengungsi Rohingya yang tinggal di kamp pengungsi di daerah Kalindi Kunj New Delhi. Saat sedang duduk di sebuah toko kelontong kecil di kamp pengungsiannya, seorang petugas kepolisian meminta Alam untuk mengisi formulir "data pribadi" sebanyak enam halaman. Namun Alam menolak.
"Hari ini, jika Anda tidak mau bekerja sama dengan kami, kami tidak akan bekerja sama dengan Anda besok," kata polisi itu.
Polisi itu kemudian berjalan di sekitar kamp mencari pria lain. Tetapi ia tidak menemukan banyak orang karena mereka telah pergi bekerja. Dilansir Aljazirah, Selasa (16/10), sebelum meninggalkan kamp pengungsian, polisi itu memberi tahu Alam bahwa dia akan kembali lagi.
"Dia telah datang ke kamp hampir setiap hari selama sepekan dan bersikeras agar kami mengisi formulir ini," kata Alam (27). Alam telah tinggal di India sejak 2012.
"Kami mengatakan kepadanya beberapa kali bahwa kami tidak akan menyerahkan formulir ini atau memberikan data biometrik. Pemerintah India akan mengirim formulir ini ke kedutaan Myanmar dan kemudian kami akan dideportasi secara paksa," katanya.
Pemerintah India telah meminta negara-negara bagian untuk mengidentifikasi anggota komunitas pengungsi Rohingya dengan mencatat rincian biometrik dan melaporkannya kepada pemerintah pusat. "Laporan telah dikeluarkan untuk negara. Mereka perlu mengidentifikasi Rohingya, mengambil biometrik mereka dan mengirim laporan kepada kami. (Pemerintah pusat) akan memulai tindakan melalui saluran diplomatik dengan Myanmar dan menyelesaikannya," kata Menteri Dalam Negeri India Rajnath Singh baru-baru ini.
Pada 4 Oktober, tujuh orang Rohingya - Mohammad Jalal, Mokbul Khan, Jalal Uddin, Mohammad Youns, Sabbir Ahamed, Rahim Uddin dan Mohammad Salam - ditangkap pada 2012 karena memasuki India tanpa dokumen. Mereka lalu dideportasi ke Myanmar.
Deportasi terjadi beberapa jam setelah Mahkamah Agung India menolak gugatan pengacara Prashant Bhushan yang meminta agar pengungsi Rohingya itu tetap diizinkan tinggal di India. "Bahkan negara asal mereka telah menerima mereka sebagai warganya," kata pengadilan.
Orang-orang itu dibawa ke kota perbatasan Moreh di negara bagian Manipur, di mana mereka diserahkan ke penjaga perbatasan Myanmar. "Keputusan hari ini oleh Mahkamah Agung menandai hari yang gelap bagi hak asasi manusia di India. Keputusan ini meniadakan tradisi India yang menyediakan perlindungan bagi mereka yang melarikan diri dari pelanggaran hak asasi manusia yang serius. Ini membahayakan populasi yang paling teraniaya di dunia dan kehilangan empati," kata Aakar Patel dari Amnesty India.
Langkah itu dilakukan dua hari setelah Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mendesak India untuk mendukung Bangladesh dalam memberikan bantuan kemanusiaan kepada komunitas Rohingya. India juga diminta untuk mempengaruhi Myanmar agar melakukan rekonsiliasi.
Sejak itu, ketegangan dan ketakutan mencengkeram kamp pengungsi di Kalindi Kunj, tempat 50 keluarga Rohingya tinggal selama beberapa tahun. Mereka takut dideportasi ke Myanmar. Menurut para pengungsi, pemerintah Myanmar akan memasukkan mereka ke penjara atau kamp tawanan.
"Semua tujuh orang yang telah dideportasi ke Myanmar berada di penjara India sejak 2012. Setelah deportasi, mereka tidak dikirim kembali ke rumah mereka tetapi dijebloskan ke penjara lagi. Kami khawatir hal yang sama akan terjadi pada kami juga," ujar Alam.
Diperkirakan 40 ribu Rohingya tinggal di India setelah melarikan diri dari penganiayaan di Myanmar. Pemerintah India yang dipimpin oleh partai nasionalis Hindu Bharatiya Janata Party (BJP) menolak memberikan status pengungsi Rohingya.
Seorang Menteri kabinet Perdana Menteri Narendra Modi pada Agustus mengatakan kepada parlemen India bahwa Rohingya adalah imigran gelap. "Kami tahu ini, Rohingya terkait dengan kegiatan yang salah dan ilegal," kata Kiren Rijiju, menteri negara untuk urusan dalam negeri.
Orang-orang Rohingya di kamp, yang kebanyakan bekerja sebagai buruh harian dan pengemudi becak, menolak tuduhan itu. "Kami memberikan daftar orang yang tinggal di kamp kepada polisi bersama dengan dokumen setiap bulan. Kami bekerja sangat keras untuk memberi makan keluarga kami. Kami tidak terlibat dalam kegiatan ilegal. Tidak satu pun anggota dari komunitas kami yang ditemukan terlibat dalam kesalahan apa pun," kata salah seorang pengungsi, Aman Jamal (24).
Sebagian pejabat dan masyarakat di India menganggap pengungsi Rohingya sebagai ancaman terhadap keamanan nasional. Pada Februari 2017, di sebuah kamp pengungsi Rohingya di wilayah Jammu dan Kashmir yang dikelola India, papan iklan dipasang dengan pesan seperti "Wake up Jammu, Rohingyas and Bangladeshis quit Jammu".
Kurang dari sebulan kemudian, Kamar Dagang dan Industri Jammu mengeluarkan ultimatum kepada pemerintah negara bagian dan mengancam akan "mengidentifikasi dan membunuh" Rohingya jika mereka tidak segera dideportasi. Noor Qasim (30 tahun), tinggal di kamp pengungsi Kalindi Kunj dengan istri dan dua anak perempuannya.
"Pemerintah India harus mengerti mengapa kita ada di sini, dan bagaimana situasi kita saat datang ke sini, "katanya.
Qasim, yang bekerja sebagai buruh di gudang semen memperoleh upah 95 dolar AS dalam sebulan. Ia telah tinggal di kamp sejak 2012. Ibunya, dua saudara laki-laki dan dua saudara perempuan berada di Bangladesh.
Qasim mengklaim tentara membunuh saudara sepupunya tahun lalu ketika kekerasan melanda negara Rakhine Myanmar. "Saya belum melihat keluarga saya sejak 2012. Saya ingin kembali ke rumah dan tinggal bersama keluarga saya lagi tetapi kami tidak punya pilihan. Kami meninggalkan semuanya - rumah kami, bisnis, ladang, ternak dan hidup seperti budak di sini," kata Qasim.
Menurut Qasim, pemerintah India dapat mendeportasi Rohingya kapanpun. Pengungsi Rohingya tidak dapat berbuat apapun karena statusnya.
"Tapi (pejabat India) setidaknya harus melihat situasi di Myanmar sekali. Dalam situasi saat ini, akan lebih baik untuk membunuh kita semua di sini daripada mendeportasi kita, karena kita akan dibunuh di sana," ujarnya.