REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY -- Perdana Menteri Australia Scott Morrison pada Selasa (16/10) mengatakan Canberra terbuka untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Australia juga tengah mempertimbangkan untuk memindahkan kedutaannya di kota tersebut.
Langkah itu akan membalikkan kebijakan luar negeri Australia yang telah dipegang teguh selama puluhan tahun dan menimbulkan ketegangan dengan beberapa negara tetangga.
Surat kabar Australia, Sydney Morning Herald, pada Selasa (16/10) menyebut Morrison tidak berprinsip dan penakut karena telah berubah sikap. Australia selama ini diketahui masih terus menjalankan misinya di Tel Aviv.
Negara itu telah menolak untuk mengikuti keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada Desember lalu untuk memindahkan kedutaan AS ke Yerusalem. Keputusan AS membuat marah rakyat Palestina dan dunia Arab, termasuk sekutu AS di Barat.
"Ortodoksi yang mendorong perdebatan ini mengatakan isu-isu seperti mempertimbangkan masalah ibu kota adalah tabu. Saya pikir kita harus menentang ketabuan itu," kata Morrison, dikutip Channel News Asia.
"Tidak ada keputusan yang dibuat mengenai pengakuan ibu kota (Yerusalem) atau pemindahan kedutaan...tetapi pada saat yang sama, kami terbuka terhadap hal itu," kata Morrison.
Status Yerusalem adalah salah satu hambatan tersulit dalam kesepakatan damai antara Israel dan Palestina. Israel menganggap seluruh bagian kota Yerusalem, termasuk sektor timur yang dianeksasi setelah perang Timur Tengah 1967, sebagai ibu kotanya.
Palestina, dengan dukungan internasional yang luas, ingin Yerusalem Timur menjadi ibu kota negara masa depan mereka yang akan didirikan di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Perundingan damai antara kedua belah pihak telah gagal dilakukan pada 2014.
Perubahan kebijakan Australia ini disambut baik oleh Israel, tetapi dengan cepat mendapat kritikan dari perwakilan Palestina. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, yang telah dihubungi Morrison, mengatakan di akun Twitter pribadinya bahwa dia sangat bersyukur Morrison sedang mempertimbangkan langkah itu.
Dalam sebuah pernyataan, Kedutaan Besar Palestina di Australia menyebut pernyataan Morrison itu sangat mengganggu. "Keuntungan politik jangka pendek pasti akan kalah dengan kerugian baik bagi kedudukan internasional Australia dan dalam hubungannya dengan negara-negara Arab dan mayoritas Muslim," kata pernyataan itu.
Keterbukaan Morrison untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memindahkan kedutaan Australia ke kota itu disampaikan empat hari sebelum pemilihan sela di Sydney. Koalisi moderat-kanannya menghadapi risiko kehilangan kekuasaannya yang lemah.
Pemilu sela dilakukan di Wentworth untuk memperebutkan kursi kosong yang ditinggalkan mantan perdana menteri Malcolm Turnbull. Turnbull digulingkan dalam kudeta oleh anggota partai Liberal Morrison pada Agustus lalu.
Angka jajak pendapat menunjukkan 12,5 persen pemilih di Wentworth adalah orang Yahudi, proporsinya jauh lebih besar daripada di bagian lain negara itu. Kandidat Partai Liberal yang mengikuti pemilihan sela pada Sabtu (20/10) adalah Dave Sharma, mantan duta besar Australia untuk Israel.
Morrison harus bernegosiasi dengan anggota parlemen independen untuk terus memerintah dalam suara minoritas jika koalisi kalah pada pemilihan itu. Kedutaan Besar AS menjadi satu-satunya kedutaan asing yang ada di Yerusalem. Netanyahu telah berusaha untuk membujuk negara lain agar mengikuti langkah AS.
Analis politik Universitas Sydney Rod Tiffen mengatakan pergeseran sikap Australia itu didorong oleh politik lokal. "Ini adalah perubahan besar, tidak sejalan dengan semua orang, kecuali Amerika. Tapi tiga hari sebelum pemilihan di Wentworth, menunjukkan keputusan itu cukup mencolok ... sejauh ada suara Yahudi di sana, maka keputusan mungkin membantu," kata Tiffen.
Baca: Australia Ingin Akui Yerusalem, Indonesia Bertindak