Rabu 17 Oct 2018 15:20 WIB

Hubungan Indonesia dan Australia Dinilai dalam Bahaya

PM Morrison berencana memindahkan Kedubes Australia ke Yerusalem.

Red: Nur Aini
Presiden Jokowi menerima kunjungan kenegaraan Perdana Menteri Australia Scott Morrison di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Jumat (30/8).
Foto: Republika/Dessy Suciati Saputri
Presiden Jokowi menerima kunjungan kenegaraan Perdana Menteri Australia Scott Morrison di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Jumat (30/8).

REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Ketua Indonesia Institute Ross Taylor menyatakan kemungkinan Presiden Joko Widodo akan mempertimbangkan untuk membatalkan perjanjian perdagangan dengan Australia terkait rencana pemindahan kedutaan besar ke Yerusalem.

Ketua lembaga swadaya yang berbasis di Perth itu mengemukakan hal itu dalam wawancara dengan ABC, menanggapi eskalasi yang terjadi setelah PM Scott Morrison melontarkan pernyataan mengenai kemungkinan memindahkan kedubes Australia di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem. Langkah itu disebut-sebut sebagai upaya PM Morrison meraih dukungan sekitar 13 persen pemilih Yahudi di daerah pemilihan (Dapil) Wentworth di Sydney, yang akan menggelar pemilu sela pada akhir pekan.

Pemerintahan Koalisi pimpinan PM Morrison perlu mempertahankan kursi Dapil Wentworth yang sebelumnya diduduki mantan PM Malcolm Turnbull, untuk bisa tetap menjadi mayoritas di DPR. Taylor menilai, Presiden Jokowi juga menghadapi pemilu tahun depan, dengan suara pemilih kalangan Muslim dipastikan menjadi penentu kemenangan.

"Itulah yang membuat situasi ini berpotensi berbahaya dan juga sangat kompleks bagi kedua pemimpin yang telah berhubungan sangat baik usai pertemuan pertama mereka," kata Taylor.

Seperti upaya Pemerintahan Koalisi untuk mempertahankan kursi Wentworth, Jokowi juga ingin meraih dukungan pemilih Muslim di Indonesia dalam pemilu dan pilpres tahun depan. Bulan lalu, Presiden Jokowi mengejutkan banyak pihak setelah memilih tokoh Muslim konservatif Ma'ruf Amin sebagai pasangan calon wakil presiden. Pimpinan MUI itu pernah menyerukan fatwa menentang sekularisme di Indonesia.

"Jokowi harus memastikan pasangan (cawapres) dan pendukungnya dari kalangan Islam konservatif tetap tenang, dan tentu saja mereka sangat pro-Palestina," kata Taylor.

"Jika dia harus korbankan Australia untuk mempertahankan posisi ini, maka hal itu akan dia pertimbangkan. Namun dia benar-benar terjebak oleh komentar Morrison. Saya kira dia lebih suka jika hal itu tidak terwujud," kata Taylor.

Pasalnya, menurut Taylor, Presiden Jokowi merupakan pendukung perundingan perdagangan bebas yang diharapkan bisa ditandatangani pada November 2018. Dia mengatakan penurunan nilai tukar mata uang rupiah telah membantu melancarkan perundingan perdagangan bebas itu.

"Mereka mengalami defisit negara perdagangan karena hengkangnya modal dari Indonesia. Dan saya rasa Presiden sangat ingin menunjukkan bahwa dia memiliki basis ekonomi yang baik," kata Taylor.

"Kesepakatan perdagangan bebas dengan Australia merupakan titik awal yang baik untuk menunjukkan kepada pasar bahwa negara ini terbuka untuk bisnis," ujarnya.

Reaksi dari Indonesia atas komentar PM Morrison, sejauh ini, saling bertentangan. Seorang sumber ABC di kalangan pemerintah RI menyebutkan, perundingan perdagangan tersebut dapat dibatalkan setelah pernyataan Morrison. Namun, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita kepada kantor berita Reuters mengatakan tidak mempertimbangkan langkah seperti itu.

Kepada ABC, PM Morrison mengatakan pihaknya tidak kaget dengan sikap Menteri Enggartiasto yang menepis pemberitaan ABC ini. "Kami menjalin hubungan erat dengan Indonesia dan kami berbagi satu nilai penting yang sama, yaitu kami sama-sama mendukung solusi dua negara (untuk konflik Israel-Palestina)," katanya.

Diterbitkan oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC Australia.

sumber : http://www.abc.net.au/indonesian/2018-10-17/jokowi-kemungkinan-korbankan-hubungan-dagang-dengan-australia-t/10385798
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement