Kamis 18 Oct 2018 15:50 WIB

Palestina Laiknya Anggota Penuh PBB

Amerika Serikat, Israel, dan Australia menolak keputusan tersebut.

Sidang Majelis Umum PBB di Markas Besar PBB, New York. (ilustrasi)
Foto: Antara/Aditya E.S.Wicaksono
Sidang Majelis Umum PBB di Markas Besar PBB, New York. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Majelis Umum PBB merestui Palestina untuk bertindak seperti layaknya anggota penuh badan dunia tersebut, Selasa (16/10). Hal itu dimungkinkan dalam pertemuan-pertemuan sepanjang 2019 saat Palestina memimpin negara berkembang yang dikenal sebagai Kelompok 77 atau G-77.

Palestina terpilih sebagai ketua G-77 dalam pemungutan suara pada Selasa. Palestina mendapatkan 146 suara dengan 15 suara abstain dan 29 negara tidak memberikan suaranya. Amerika Serikat (AS), Israel, dan Australia menolak keputusan tersebut.

"Kami tidak bisa mendukung upaya yang dilakukan Palestina untuk menaikkan status mereka di luar perundingan langsung. AS tidak mengakui adanya Negara Palestina," ujar Deputi Duta Besar AS untuk PBB Jonathan Cohen di hadapan Majelis Umum PBB.

"Kami dengan keras menentang terpilihnya Palestina untuk memimpin G-77, termasuk yang di sebut sebagai resolusi," ujarnya. "Hanya anggota PBB yang diperbolehkan untuk berbicara dan bertindak atas nama kelompok besar yang terdiri atas negara-negara di PBB."

Peningkatan status ini memungkinkan Palestina untuk berpartisipasi dalam proses pemungutan suara di Majelis Umum PBB. Palestina juga dapat bergabung di lembaga-lembaga internasional. Namun, sebagai negara bukan anggota, Palestina tidak boleh ikut menyampaikan pendapatnya dalam pertemuan-pertemuan, kecuali jika mereka sudah menjadi anggota PBB.

Resolusi yang dirancang Mesir sebagai ketua sebelumnya memungkinkan Palestina bertugas sebagaimana laiknya negara dengan mengatasnamakan G-77 dan Cina. Tugas itu antara lain membuat pernyataan, menyerahkan dan mendukung proposal serta amendemen, serta berhak untuk memberikan tanggapan dan mengajukan interupsi point of order.

"Keputusan Australia untuk menyatakan 'tidak' dalam resolusi ini mencerminkan sikap kami yang telah berlangsung lama bahwa upaya-upaya Palestina untuk mencari pengakuan dengan status negara melalui forum-forum internasional adalah sama sekali tidak menolong upaya menuju solusi dua negara," ujar Duta Besar Australia untuk PBB Gillian Bird di hadapan sidang.

Saat ini Palestina masih berjuang untuk mendirikan negara dengan wilayah dengan batas negara seperti sebelum perang 1967. Berarti wilayah tersebut meliputi Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.

Pada 2012, Majelis Umum PBB secara mayoritas menyetujui pengakuan de facto atas kedaulatan Palestina. Hal itu ditunjukkan dengan meningkatkan status Palestina di PBB dari status pengamat sebagai sebuah entitas menjadi negara bukan anggota. Hal ini berlaku seperti pada Vatikan.

photo
Menteri Luar Negeri Palestina Riyad al-Maliki(kiri) bersama Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi (kanan) memberikan keterangan kepada media usai mengadakan pertemuan bilateral di gedung Pancasila Kementrian Luar Negeri, Jakarta, Selasa (16/10).

Tidak pengaruhi bilateral

Pada perkembangan berbeda, rencana Perdana Menteri Australia Scott Morrison untuk memindahkan kedutaan besar Australia ke Yerusalem menuai beragam reaksi, termasuk dari Indonesia. Presiden Joko Widodo dilaporkan telah menghubungi Morrison pada Selasa malam.

Jokowi menyatakan keprihatinannya. Karena rencana tersebut dinilai dapat menghambat jalan damai Israel dan Palestina menuju solusi dua negara.

Menteri Luar Negeri Indonesia Retno LP Marsudi pun dilaporkan telah memanggil Duta Besar Australia untuk Indonesia Gary Quinlan, Selasa. Retno memaparkan sikap Indonesia dalam isu Yerusalem. Quinlan menyatakan, pemindahan kedutaan besarnya ke Yerusalem masih berupa wacana.

Pengajar ilmu hubungan interna sional Universitas Indonesia Maisa Yudono menilai tidak akan ada perubahan yang berarti dalam hubungan Indonesia dan Australia terkait isu Yerusalem ini. Menurut Maisa, keputusan Australia adalah kedaulatan mereka dan Indonesia tidak bisa melakukan intervensi.

"Tidak, korelasi logikanya tidak sejalan. Morrison mengakui pemindahan ibu kota Israel ke Yerusalem itu adalah kedaulatan Australia, Indonesia tidak berbuat apa-apa," ujarnya kepada Republika, Rabu.

Maisa menjelaskan, semua perjanjian internasional yang sudah disepakati tidak bisa diubah kecuali ada pelanggaran kesepakatan yang dilakukan salah satu negara yang terlibat dalam perjanjian tersebut. Dalam norma-norma hukum internasional, lanjut Maisa, tidak mudah untuk mengubah sebuah kesepakatan atau perjanjian.

Sebelumnya, Ketua Indonesia Institute di Australia, Ross Taylor, mengatakan, pernyataan Morrison akan berbahaya bagi perdagangan hubungan kedua negara. "Ini menciptakan potensi situasi yang berbahaya dan juga rumit untuk dua pemimpin negara yang jelas memiliki hubungan yang sangat baik setelah pertemuan pertama mereka," kata Taylor kepada ABC News. n reuters/Lintar Satria, ed: yeyen rostiyani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement