REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Jurnalis asal Arab Saudi yang diduga dibunuh dan diduga dimutilasi, Jamal Khashoggi, diketahui meluncurkan kritik keras terhadap Putra Mahkota Mohammed bin Salman sebelum maut menjemput pada 2 Oktober. Dalam sebuah wawancara, ia menyebut pemerintahan Mohammed bin Salman sebagai pemerintahan otoriter.
Seperti dilaporkan Daily Mail, Sabtu (20/11), Pria berusia 59 tahun itu mendeskripsikan bagaimana beberapa bawahan Sang Pangeran, termasuk penasihat media, diberhentikan, termasuk Saud al-Qahtani. Ia menyebut tindakan ini sebagai premanisme. Ia mengatakan, orang-orang takut pada pemerintahan ini. Jika ada yang menantang, mereka mungkin berakhir di penjara.
Secara off the record, Khasshogi pernah bercerita kepada seorang wartawan Newsweek yang mengulik tentang kepemimpinan di Arab Saudi. Khashoggi berkeras menganggap dirinya bukan 'oposisi'. Ia mengaku hanya ingin Arab Saudi menjadi lebih baik.
"Saya tidak menyerukan penggulingan rezim. Saya tahu itu tidak mungkin dan terlalu berisiko. Dan memang tidak ada yang bisa menggulingkan rezim," kata Khashoggi kepada Newsweek.
"Saya hanya menyerukan adanya reformasi rezim," lanjut dia.
Khashoggi menggambarkan Pangeran Mohammed sebagai seorang pemimpin kuno dan tidak dekat dengan kaum miskin di Arab Saudi. "Kadang-kadang saya merasa bahwa, dia ingin menikmati buah modernitas dunia pertama, Silicon Valley, bioskop-bioskop, dan segalanya. Tapi pada saat yang sama dia ingin memerintah sebagaimana kakeknya memerintah Arab Saudi," kata Khashoggi.
Khashoggi menyebut, Sang Pangeran tidak memahami para warga. Ketika ia mencoba memahami mereka, ketika itulah reformasi akan dimulai. Khashoggi juga mengkritik kurangnya penasihat yang tepat yang dimiliki SangPangeran.
Menurut Khashoggi, Pangeran Mohammed bin Salman memandang Arab Saudi berdasarkan perspektifnya saja. Salman memecat dua ajudan pangeran, termasuk di antaranya Saud al-Qahtani.
Qahtani dikenal sebagai penasihat kunci Pangeran. Ia bertugas mengorganisasi wawancara dengan pangeran untuk wartawan asing. Ia juga menjabat Kepala Pusat Studi dan Urusan Media yang beroperasi di dalam istana kerajaan.
Qahtani dikabarkan melakukan kampanye dan propaganda daring untuk melawah musuh kerajaan, seperti Qatar dan Iran. Dengan 1,3 juta pendukung Twitter, pejabat tersebut dikenal agresif menargetkan rivalnya di media sosial. Khashoggi menyebut, Qahtani mempertahankan 'daftar hitam' para penulis kritis yang diintimidasi pihak kerajaan.
Pangeran Mohammed bin Salman al-Saud dalam wawancara dengan Bloomberg pada 3 Oktober mengatakan, tak ada yang tahu tentang apa yang terjadi pada Khashoggi.
"Kami dengar rumor tentang apa yang terjadi. Dia seorang warga Arab Saudi dan kami sangat ingin mengetahui apa yang terjadi padanya. Dan kami masih melakukan dialog dengan Pemerintah Turki untuk mengetahui apakah Jamal ada di sana," ujar dia.