REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Pemerintah Australia menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap lima jenderal militer Myanmar, Selasa (23/10). Kelima petinggi militer itu dituduh sebagai dalang atas kekerasan terhadap etnis minoritas Rohingya di Rakhine.
Menteri Luar Negeri Australia Marise Payne menyebut, para petinggi di Myanmar, seperti Aung Kyaw Zaw, Maung Maung Soe, Aung Aung, Than Oo dan Khin Maung Soe, bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh unit di bawah komando mereka.
"Dari kelima jenderal, beberapa di antaranya diyakini telah mengundurkan diri dari jabatannya. Mereka juga akan dilarang bepergian ke Australia," ujar Payne seperti dikutip laman South Cina Morning Post, Selasa.
Sekitar 700 ribu warga Rohingya meninggalkan dari rumah mereka di negara bagian Rakhine, di Myanmar barat daya, sejak 2016.
Baca juga, Militer Myanmar Sebut tak Ada Rohingya yang Terbunuh.
Krisis kemanusiaan di Rohingya ditandai maraknya pembunuhan di luar proses hukum, perkosaan massal dan pembakaran desa oleh pasukan keamanan. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut operasi tersebut mengarah ke "pembersihan etnis" terhadap Rohingya.
Namun Myanmar mengklaim operasi di Rakhine semata untuk memburu kelompok militan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) yang dinilai bertanggung jawab atas serangan ke sejumlah pos polisi.
Pada akhir Agustus lalu, Tim Misi Pencari Fakta Independen PBB telah menerbitkan laporan tentang krisis Rohingya yang terjadi di Rakhine. Dalam laporan itu, disebut bahwa apa yang dilakukan militer Myanmar terhadap etnis Rohingya mengarah pada tindakan genosida.
Laporan tersebut menyerukan agar para pejabat tinggi militer Myanmar, termasuk panglima tertinggi militer Jenderal Min Aung Hlaing, diadili di Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
Dalam laporan tersebut pula, Dewan Keamanan diserukan memberlakukan embargo senjata terhadap Myanmar, menjatuhkan sanksi kepada individu-individu yang bertanggung jawab, dan membentuk pengadilan ad hoc untuk menyeret mereka ke ICC.
Kebijakan Australia juga senada dengan keputusan Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa. Australia mengumumkan akan membekukan aset kelima jenderal termasuk seorang letnan jenderal yang memerintahkan kelompok operasi khusus yang diyakini berada di balik kekejaman itu.