REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Tim pencari fakta PBB mengatakan aksi genosida masih berlangsung terhadap etnis Rohingya di Myanmar. Dalam laporan yang disampaikan ke Dewan Keamanan PBB pada Rabu (24/10), tim menyerukan masalah ini agar dirujuk ke Pengadilan Pidana Internasional (ICC).
Ketua Misi Pencari Fakta PBB di Myanmar, Marzuki Darusman, mengatakan dalam konferensi pers, ada aksi lain yang dilakukan di luar pembunuhan massal. Aksi itu termasuk pengucilan dari masyarakat, pencegahan kelahiran, dan perpindahan ke kamp-kamp.
"Genosida masih berlangsung. Kami menganggap aksi genosida ini dapat disimpulkan secara masuk akal," kata dia, saat mempresentasikan laporan tim pada pertemuan Dewan Keamanan PBB, dikutip Strait Times.
Laporan setebal 444 halaman dari tim pencarian fakta itu pertama kali dipublikasikan bulan lalu. Tim tersebut menyerukan kepada Dewan Keamanan PBB untuk merujuk konflik di Myanmar ke ICC di Den Haag, atau untuk menciptakan pengadilan kriminal internasional ad hoc, seperti yang dilakukan di wilayah bekas Yugoslavia.
Laporan itu mengatakan bahwa jenderal penting Myanmar, termasuk Panglima Tertinggi Min Aung Hlaing, harus diselidiki dan dituntut atas tuduhan genosida di Negara Bagian Rakhine. Myanmar telah menolak tuduhan bahwa militernya melakukan kekejaman tahun lalu yang memaksa sekitar 720 ribu warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh. Konflik itu juga telah menghancurkan 390 desa dan menewaskan 10 ribu warga Rohingya.
"Kondisinya tidak ada tempat untuk kembali yang aman, bermartabat dan berkelanjutan, bagi para Rohingya di Bangladesh ke Myanmar," kata dia. Marzuki menambahkan setiap upaya hanya akan berisiko lebih banyak menimbulkan kematian.
Menurut dia, penyelidikan internal yang dilakukan Myanmar sejauh ini telah terbukti gagal dan tidak efektif. Utusan Khusus PBB untuk Myanmar Christine Schraner Burgener menambahkan, akuntabilitas adalah salah satu dari dua pilar penting untuk rekonsiliasi nasional, ditambah dialog inklusif.
"Pencarian fakta yang kredibel adalah langkah pertama menuju akuntabilitas," tutur Burgener.
Pemerintah Myanmar menolak temuan misi PBB itu. Mereka menunjukkan bahwa mereka telah membentuk sendiri komisi investigasi independen yang terdiri dari para diplomat Asia. Myanmar menyatakan bahwa kekerasan di Rakhine dipicu oleh ekstremis Rohingya yang menyerang pos perbatasan pada Agustus 2017.