REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Penyelidik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan, tindakan mengarah genosida terhadap Muslim Rohingya di Myanmar masih berlangsung. Pemerintah semakin menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki kepentingan untuk membangun demokrasi yang berfungsi penuh.
Seperti dilansir the Guardian, Kamis (25/10), Marzuki Darusman, ketua misi pencarian fakta PBB di Myanmar, mengatakan ribuan orang Rohingya masih melarikan diri ke Bangladesh. Diperkirakan 250 ribu hingga 400 ribu orang yang masih berada di Rakhine terus menderita pelarangan dan penindasan yang paling berat.
"Ini adalah genosida yang sedang berlangsung," katanya pada konferensi pers pada Rabu (24/10).
Yanghee Lee, penyelidik khusus PBB untuk hak asasi manusia di Myanmar, mengatakan dia dan komunitas internasional berharap situasi di bawah Aung San Suu Kyi akan sangat berbeda dari masa lalu. Tetapi pada kenyataannya situasi tidak terlalu berbeda.
Baca juga, Generasi Muslim Rohingya yang Terancam Hilang.
Dia menambahkan bahwa Suu Kyi, peraih Hadiah Nobel Perdamaian menolak total semua tuduhan bahwa militer di Myanmar telah memperkosa, membunuh dan menyiksa Rohingya serta membakar desa mereka. Ini menyebabkan sekitar 700 ribu orang melarikan diri ke Bangladesh sejak Agustus lalu.
"Pemerintah semakin menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki minat dan kapasitas dalam membangun demokrasi yang berfungsi penuh di mana semua rakyatnya sama-sama menikmati semua hak dan kebebasan mereka. Ini tidak menegakkan keadilan dan supremasi hukum, yang Suu Kyi berulang kali katakan adalah standar yang ditegakkan untuk semua di Myanmar", kata Lee.
Ia mengatakan, hukum yang adil akan diterapkan tanpa memihak kepada semua orang, kekebalan hukum tidak akan berkuasa, dan hukum tidak akan digunakan sebagai senjata penindasan.
Pemerintah Suu Kyi telah menolak penyelidikan internasional independen atas dugaan pelanggaran dan telah melakukan penyelidikannya sendiri. Pemerintah juga telah menolak laporan oleh misi yang dipimpin Darusman, yang mengatakan beberapa pemimpin militer harus dituntut atas kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida terhadap Rohingya.
"Posisi keras pemerintah Myanmar adalah hambatan terbesar. Penyangkalannya yang berkelanjutan, upayanya untuk melindungi diri sendiri di bawah naungan kedaulatan nasional dan penolakan terhadap 444 halaman rincian tentang fakta dan keadaan pelanggaran hak asasi manusia baru-baru ini," kata Darusman kepada wartawan.
Darusman dijadwalkan akan memberikan pengarahan kepada dewan keamanan PBB Rabu, sebuah pertemuan yang enam anggota dewan itu keberatan, termasuk Cina, yang merupakan tetangga dan sekutu Myanmar, Rusia, Bolivia, Guinea Ekuatorial, Ethiopia dan Kazakhstan.
Marzuki Darusman mengaku akan mendesak dewan untuk mengambil tindakan dalam menahan mereka yang telah melakukan kekejaman terhadap Rohingya. Baik dengan merujuk Myanmar ke Pengadilan Kriminal Internasional atau dengan mempersiapkan pengadilan internasional. Namun tindakan apa pun tampaknya sangat tidak mungkin karena hampir pasti ada penolakan dari Cina, seorang anggota dewan yang memegang hak veto.
Mengenai pengungsi Rohingya yang kembali ke Myanmar, Lee mengatakan bahwa terdapat banyak kemajuan dalam hal pembangunan ekonomi dan infrastruktur. Tetapi di bidang ruang demokrasi dan hak orang untuk mengklaim kembali tanah mereka tidak ada kemajuan.