REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Perdana Menteri Iraq Adel Abdul Mahdi mengatakan, Irak akan memprioritaskan kepentingan dan kemandirian negara sendiri. Hal itu disampaikan di tengah sikap Amerika Serikat (AS) yang kembali menegakkan sanksi terhadap Iran.
"Kami ingin membuat Irak aman dari campur tangan apa pun dalam masalah dan urusan negara lain, apakah itu negara tetangga atau negara lain di dunia," kata Abdul Mahdi pada konferensi pers di Baghdad seperti dikutip laman Reuters, Kamis (25/10).
AS telah menjatuhkan sanksi ekonomi baru terhadap Iran pada Agustis lalu. Sanksi itu menargetkan perdagangan logam, batu bara, serta industri otomotif dan karpet iran.
Sanksi diterapkan setelah Iran menolak keinginan AS untuk merevisi kesepakatan nuklir yang tercapai pada Oktober 2015, yang dikenal dengan istilah Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA).
Kesepatan tersebut dicapai melalui negosiasi yang panjang dan alot antara Iran dengan AS, Cina, Rusia, Jerman, Prancis, Inggris, dan Uni Eropa. Inti dari JCPOA adalah memastikan penggunaan nuklir Iran terbatas untuk kepentingan sipil, bukan militer. Sebagai imbalannya, sanksi ekonomi Iran akan dicabut.
Namun Trump berulang kali menyatakan ketidakpuasannya terhadap JCPOA. Ia menilai JCPOA adalah kesepakatan yang cacat. Sebab dalam JCPOA tak diatur tentang program rudal balistik Iran, kegiatan nuklirnya selepas 2025, dan perannya dalam konflik Yaman serta Suriah. Akhirnya pada Mei lalu, Trump menarik AS dari kesepakatan tersebut.
AS akan menggandakan sanksi ekonominya terhadap Iran pada November. Sanksi selanjutnya akan menargetkan sektor energi, terutama ekspor minyak Iran ke pasar global.