REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Rasa takut berlebihan membuat para perempuan di Cina enggan memiliki anak lebih dari satu. Hal itu berdasarkan survei dan hasil wawancara yang dihimpun laman phys.org terhadap 82 perempuan di negara tersebut.
Meski tidak bisa serta-merta digeneralisasi untuk seluruh populasi, temuan psikologis itu cukup menarik. Apalagi, kebijakan satu anak di Cina yang diberlakukan pada 1987 sampai 2015 kini sudah dicabut oleh pemerintah.
Sejak pencabutan kebijakan, Biro Statistik Nasional di Cina mendata penambahan angka kelahiran sebesar 0,9 persen hingga 2016. Ada pula peningkatan kelahiran anak pada 2017, tetapi prospek keluarga di Cina memiliki lebih dari satu anak terbilang rendah.
Tang Xiaohe (nama disamarkan) dari distrik Dongzhimen, Beijing, memiliki anak perempuan berusia enam tahun. Ibu berusia 35 tahun itu bekerja di perusahaan pariwisata ternama sehingga cukup mapan secara finansial.
Kondisi keuangan sama sekali bukan alasan baginya untuk tidak menambah momongan. Namun, dengan tegas Xiaohe mengatakan tidak mau memiliki anak lagi. Hal tersebut lantaran ketakutan terhadap kondisi dunia yang menurutnya tidak memadai untuk anak.
Dia mencemaskan susu bubuk beracun, popok yang tak teruji klinis, kemungkinan pelecehan anak, vaksin palsu, dan masih banyak lagi kasus di negaranya. Xiaohe bahkan berlangganan susu dan popok impor yang dikirim langsung dari negara lain asal aman untuk buah hatinya.
Beberapa bulan silam dia merasa kebobolan saat putrinya mendapat vaksin standar untuk difteri, tetanus, polio, dan hepatitis B dari perusahaan farmasi Changchun Changsheng. Tak lama, pemerintah mengumumkan bahwa ratusan vaksin keluaran perusahaan itu rusak.
"Saya sangat marah tapi tak berdaya. Tak peduli berapa banyak uang yang dimiliki, semua hal buruk ini tetap membayangi. Mengapa saya ingin melahirkan anak lain di dunia seperti ini? Saya tidak bisa mempercayai siapa pun atau apa pun," ujar Xiaohe.