REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 dengan rute Jakarta-Pangkal Pinang di perairan Karawang menyisakan pertanyaan mengenai keselamatan penerbangan penumbang. Reputasi keamanan penerbangan Indonesia sempat di tingkat rendah hingga ada larangan terbang dari otoritas Eropa.
Jurnalis ABC Australia Farid M. Ibrahim membagikan pengalamannya menggunakan penerbangan Lion Air. Menurutnya, sebagai seorang jurnalis yang pernah tinggal di Indonesia, naik Lion Air tidak pernah jadi pilihan, namun jadi suatu keharusan.
Pekerjaan sebagai jurnalis membutuhkan perjalanan udara dan seringkali pilihan maskapai penerbangannya mengharuskannya naik Lion Air untuk bepergian ke berbagai pulau. Menurutnya, yang menyedihkan dalam kecelakaan Lion Air kali ini, yaitu bahwa tak seorang pun yang benar-benar kaget mendengarnya.
Apakah kecelakaan kali ini akan mengubah sesuatu jadi lebih baik? Jawaban sederhananya: tidak.
Tidak, karena pengawas penerbangan, Direktur Jenderal Penerbangan Sipil, berkali-kali terbukti tidak bisa, tidak bakal, atau tidak tahu bagaimana meningkatkan standar keselamatan. "Pada 2015 saya dan sebuah tim dari ABC melakukan investigasi atas sektor penerbangan Indonesia yang bermasalah," ujarnya.
"Kami mendatangi fasilitas pemeliharaan Lion Air Group di Pulau Batam. Pusat pemeliharaan itu sangat mengesankan bagi maskapai penerbangan yang pertumbuhannya luar biasa."
Lion Air Group berencana untuk memiliki 700 pesawat pada tahun 2030. Ekspansi besar-besaran yang ditopang lompatan jumlah penumpang sekitar 15 persen pertahun.
Perusahaan itu telah melakukan banyak hal untuk meningkatkan keamanan pelayanannya, termasuk menunjuk konsultan internasional, dan telah dibuat landasannya. Lion Air dihapus dari daftar hitam maskapai penerbangan oleh Uni Eropa pada 2016, meskipun memang tidak beroperasi di sana.
Selain itu, catatan keamanan pelayanannya telah ditingkatkan oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) pada 2018. Meski belum jelas apa yang menyebabkan Boeing 737 MAX 8 berusia tiga bulan itu jatuh, kematian 189 orang sekali lagi menyoroti keamanan Lion Air.
Pesawat yang jatuh itu dilaporkan telah mengalami masalah teknis dari penerbangan Bali - Jakarta malam sebelumnya. Lion Air harus menjelaskan mengapa pesawat ini tidak dikandangkan. Antara 2002 hingga 2013, tercatat setidaknya 19 insiden yang dialami Lion Air Group di Indonesia.
Dalam satu kejadian pada 2013, pilot Lion Air melewati runway sehingga pesawatnya terjerembab ke laut. Untungnya semua orang selamat.
"Tentu saja selalu ada ruang untuk perbaikan, tapi kami berkomitmen melakukannya. Kami berkomitmen," begitu kata Direktur Keselamatan dan Kualitas Lion Air Group Jose Fernandez kepada ABC pada 2015.
Fernandez direkrut dari Spanyol untuk memperbaiki rekor keamanan layanan Lion Air. Kini terserah kepada pengawas penerbangan Indonesia untuk mengubah budaya, meningkatkan standar di seluruh sektor. Atau, taruhannya, penumpang udara akan terus terancam keselamatannya.
Sebelumnya, hanya berselang beberapa saat setelah pesawat Lion Air JT-610 jatuh ke perairan Karawang kemarin, Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia (DFAT) mengeluarkan peringatan kepada stafnya.
Para pegawai negeri dan kontraktor Australia diimbau untuk tidak menggunakan jasa penerbangan Lion Air atau maskapai lainnya yang merupakan bagian dari Lion Air.
"Keputusan ini akan ditinjau kembali setelah temuan dari investigasi kecelakaan sudah jelas," demikian dikatakan dalam website resmi SmartTraveller.gov.au.
Lion Air Group terdiri atas Lion Air dan anak perusahaannya, Batik Air dan Wings Air. Batik Air saat ini mengoperasikan dua penerbangan sehari melayani rute Perth dan Denpasar sejak Juni 2017.
Masyarakat Australia belum diberi peringatan serupa dan kemungkinan tidak mengetahui bahwa Batik Air adalah anak perusahaan dari Lion Air. Pesawat-pesawat Batik Air diservice di fasilitas Lion Air di Pulau Batam dan diterbangkan oleh pilot yang dipekerjakan Lion Air Group. Batik Air adalah Lion Air, hanya brandingnya yang berbeda.