REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK - Meskipun mengalami pertumbuhan ekonomi yang cepat, ternyata wilayah Asia-Pasifik masih memiliki 486 juta penduduk yang kelaparan. Data ini didapat dari laporan terbaru Food and Agricultural Organization (FAO) dan tiga lembaga PBB lainnya, pada Jumat (2/11).
Laporan tersebut menunjukkan, bahkan di kota-kota yang relatif kaya seperti Bangkok dan Kuala Lumpur, keluarga miskin masih tidak mampu membeli makanan yang cukup baik untuk anak-anak mereka. Hal ini tentu dapat memberikan konsekuensi jangka panjang terkait kesehatan dan produktivitas mereka di masa depan.
Di Bangkok, lebih dari sepertiga anak-anak tidak menerima asupan gizi yang cukup 2017. Sementara di Pakistan hanya 4 persen anak-anak yang mendapatkan asupan gizi minimal yang dapat diterima.
Menurut Direktur Regional FAO, Kundhavi Kadiresan, untuk dapat mencapai tujuan bebas kelaparan pada 2030, 110 ribu orang perlu diberi gizi yang cukup setiap harinya. "Setelah bertahun-tahun mendapatkan keuntungan dalam memerangi kelaparan dan kekurangan gizi di Asia dan Pasifik, kita sekarang berhenti. Kita harus mulai kembali," ujar Kadiresan.
Sementara itu, jumlah penduduk yang kekurangan gizi di wilayah ini juga telah mulai meningkat, terutama di Asia Timur dan Tenggara, dan hampir tidak ada perbaikan dalam beberapa tahun terakhir.
Dalam jangka panjang, tingkat kekurangan gizi turun dari hampir 18 persen pada 2005 menjadi 11 persen pada 2017. Namun stunting terkait kelaparan yang menyebabkan kerusakan permanen, telah memburuk dan mempengaruhi 79 juta anak-anak di bawah usia 5 tahun di seluruh wilayah terpengaruh.
Risiko tinggi juga tercermin penurunan berat badan yang berbahaya, terkait dengan penyakit atau kekurangan makanan. Kondisi ini paling sering terlihat di India dan bagian lain di Asia Selatan, juga di Indonesia, Malaysia, dan Kamboja. Kondisi ini mempengaruhi hampir satu dari 10 anak di Asia Tenggara dan 15 persen anak-anak di Asia Selatan.
Anak-anak yang kelebihan berat badan juga sering mengalami kekurangan gizi, terlebih jika keluarga mereka sering memberikan jajanan murah yang berminyak dan manis, tetapi tidak sehat dan terkadang tidak aman.
Laporan ini berfokus pada dua faktor utama yang sering menyebabkan kerawanan pangan, yaitu bencana terkait iklim dan akses yang tidak memadai untuk membersihkan air dan sanitasi.
Penyediaan air minum bersih yang cukup dan sanitasi, sangat penting untuk mencegah penyakit. FAO mengimbau beberapa negara agar memastikan penduduk kota memiliki akses ke pasar makanan segar.
Di Indonesia, misalnya, sebuah studi yang dikutip dalam laporan itu, menemukan bahwa prevalensi stunting sangat erat kaitannya dengan akses ke kakus yang lebih baik.
Banyak penduduk miskin di Asia Tenggara yang bergantung pada air kemasan yang cocok untuk diminum tetapi sering terkontaminasi. Sebuah studi sampel di Kamboja menemukan 80 persen dari air kemasan itu mengandung bakteri dan hampir semuanya mengandung coliform, atau kontaminasi tinja.