REPUBLIKA.CO.ID, ADEN— Pemerintah Yaman yang didukung Arab Saudi pada Kamis (1/11) mengatakan siap mendukung upaya perdamaian yang dipimpin Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, pemimpin koalisi yang memerangi pemberontak Houthi belum secara terbuka mengomentari permintaan Amerika Serikat (AS) dan Inggris untuk gencatan senjata.
Pemerintah yang diakui secara internasional Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi mengaku siap kembali ke meja perundingan setelah upaya yang dipimpin PBB pada September lalu gagal karena delegasi Houthi tidak muncul.
"Pemerintah Yaman siap untuk segera mendiskusikan semua langkah membangun kepercayaan," katanya dalam sebuah pernyataan.
Ia mengatakan langkah-langkah itu harus termasuk pembebasan tahanan, dukungan untuk bank sentral, pembukaan kembali bandara-bandara, dan pemantauan atas pelabuhan Hodeidah untuk mencegah penyelundupan senjata.
Houthi, pada Selasa juga mengaku bersedia kembali terlibat dalam perundingan.
Menurut PBB, pertempuran di Yaman telah menewaskan lebih dari 10 ribu orang.
Sumber militer Yaman yang pro-koalisi mengatakan aliansi, masih mengirim pasukan ke kota pelabuhan Hodeidah yang dikendalikan Houthi. Mereka telah mengumpulkan ribuan pasukan dalam beberapa hari terakhir.
Hubungan Arab Saudi dengan Barat dirusak oleh kasus pembunuhan seorang wartawan Saudi Jamal Khashoggi. Selain itu perilaku Saudi dalam perang Yaman, di mana ratusan warga sipil tewas dalam serangan udara, juga berada di bawah pengawasan.
Serangan besar-besaran terhadap Hodeidah atau Pelabuhan Laut Merah yang padat penduduknya, yang berfungsi sebagai jalur penyelamat bagi jutaan warga Yaman, akan semakin memperumit hubungan dengan sekutu Barat. Ini juga memicu resiko kelaparan di negara miskin itu.
Koalisi mengatakan merebut kendali Hodeidah akan memaksa Houthi bertekuk lutut karena memotong jalur suplai utamanya.
Kaum Houthi masih menguasai ibu kota Sanaa dan daerah berpenduduk padat di negara itu, meskipun koalisi pimpinan Saudi melakukan serangan udara. Konflik Yaman dilihat sebagai perang proksi antara Arab Saudi dan Iran.
Sementara itu, warga yang berada di kota Hodeidah khawatir akan kondisi kota. "Ada bentrokan terus menerus di selatan kota dan pintu masuk menuju Sanaa. Kami mendengar suara peluru dan rudal dengan jelas. Situasinya mengerikan dan kami tidak tahu bagaimana nasib kami. Kita tidak bisa meninggalkan kota, kemana kita akan pergi? Biaya untuk bepergian terlalu mahal dan teman-teman kita yang pergi ke Aden atau Sanaa hidup dalam kondisi yang lebih buruk dari kita," kata Mohammed Abdullah kepada Reuters melalui telepon.
Setengah populasi Yaman, sekitar 14 juta orang, terancam berada di ambang kelaparan. PBB menyebut kondisi Yaman sebagai krisis kemanusiaan paling buruk di dunia.
Save the Children memperkirakan bahwa 100 anak-anak meninggal setiap hari di Yaman akibat kelaparan dan penyakit.
"Sementara pihak yang bertikai membahas ketentuan perdamaian ini, kami mendesak mereka untuk segera menghentikan pertempuran sehingga lebih banyak nyawa terselamatkan," kata Save the Children dalam sebuah pernyataan. Kelompok itu menyerukan akses penuh untuk bantuan dan impor komersial.
"Sudah waktunya untuk mengakhiri perang ini, demi anak-anak Yaman, yang sudah cukup menderita," katanya.