Sabtu 03 Nov 2018 08:17 WIB

Warga Iran Khawatirkan Sanksi Baru AS

Warga Iran khawatir akan mendapatkan tekanan yang lebih menyakitkan setelah sanksi.

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Ratna Puspita
(Ilustrasi) Kapal tanker Iran ditambatkan di Pulau Kharg, di Teluk Persia, Iran selatan, 12 Maret 2017. Pemerintah AS pada 2 November 2018 mengumumkan akan memberlakukan kembali sanksi yang telah dicabut berdasarkan kesepakatan nuklir Iran. Lima negara termasuk Amerika Serikat membuat kesepakatan dengan Iran pada tahun 2015 yang mencabut sanksi.
Foto: EPA-EFE/ABEDIN TAHERKENAREH
(Ilustrasi) Kapal tanker Iran ditambatkan di Pulau Kharg, di Teluk Persia, Iran selatan, 12 Maret 2017. Pemerintah AS pada 2 November 2018 mengumumkan akan memberlakukan kembali sanksi yang telah dicabut berdasarkan kesepakatan nuklir Iran. Lima negara termasuk Amerika Serikat membuat kesepakatan dengan Iran pada tahun 2015 yang mencabut sanksi.

REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Warga Iran khawatir akan mendapatkan tekanan yang lebih menyakitkan setelah sanksi tambahan Amerika Serikat (AS) akan berlaku pada Senin (5/11). Perusahaan akan kesulitan membeli bahan baku dan orang sakit tidak akan mampu membeli obat-obatan.

AS akan menerapkan kembali pembatasan untuk sektor minyak dan perbankan dalam upaya untuk mengendalikan kegiatan pengembangan nuklir dan rudal Iran. Para pemimpin Iran telah meremehkan sanksi tersebut, tetapi banyak warga yang tampaknya khawatir.

"Semua harga semakin tinggi setiap hari. Saya tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi setelah 4 November. Saya takut. Saya khawatir. Saya putus asa," kata Pejman Sarafnejad (43 tahun), seorang guru sekolah dasar dan ayah tiga anak di Teheran.

"Saya bahkan tidak bisa membeli beras untuk memberi makan anak-anak saya atau membayar sewa rumah saya," tambah dia.

Perjuangan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari semakin sulit selama berbulan-bulan ini. Perekonomian telah terpukul setelah AS menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran pada Mei lalu.

Sejumlah perusahaan asing dari semua lini, mulai dari perusahaan minyak, perdagangan, hingga pelayaran, telah berhenti berbisnis dengan Iran karena takut terkena sanksi AS.

"Saya sangat gugup karena sudah ada kekurangan barang di pasar dan barang tersebut telah kehilangan banyak nilai. Apa yang akan terjadi setelah reimposisi sanksi baru?" ujar seorang pemiliki toko kelontong di Teheran.

Pemerintah Iran mengatakan Teheran tidak akan menyerah pada tekanan AS untuk menghentikan program rudalnya atau untuk mengubah kebijakan regionalnya.

Saat sebagian penduduk Iran mendukung pemerintah, sebagian lainnya mengaku takut perekonomian negara akan runtuh setelah AS memberikan tekanan lebih besar. Terlebih selama bertahun-tahun Iran telah dilemahkan oleh salah urus pemerintahan dan korupsi.

"Pernyataan yang disampaikan oleh pejabat pemerintah bahwa sanksi tidak akan berdampak adalah slogan politik," kata pengacara yang berbasis di Washington, Farhad Alavi, yang berfokus pada peraturan perdagangan dan sanksi AS.

"Faktanya adalah, pembatasan ini secara signifikan meningkatkan biaya hidup untuk penduduk Iran," jelas dia.

Sejak reimposisi putaran pertama pada Agustus lalu, harga roti, minyak goreng, dan bahan pokok lainnya telah melonjak tajam dan mata uang nasional telah jatuh. Beras, salah satu makanan pokok di Iran, harganya naik lebih dari tiga kali lipat sejak tahun lalu karena jatuhnya rial.

Sekitar 70 persen pabrik kecil, perusahaan, dan bengkel sudah mulai mati dalam beberapa bulan terakhir karena kurangnya bahan baku dan mata uang keras.

"Saya harus menutup bisnis saya. Perusahaan-perusahaan Eropa yang berlomba untuk menandatangani kesepakatan dengan saya tahun lalu, sekarang menolak untuk membalas panggilan saya," kata seorang pengusaha di Teheran, yang menolak disebutkan namanya.

Sementara Mohammad Reza Sadoughi, pegawai swasta berusia 38 tahun di Kota Sari, mengatakan rakyat biasa akan menanggung beban sanksi. Sanksi akan mempengaruhi harga obat-obatan untuk orang sakit seperti pasien kanker, kekurangan makanan, dan nilai mata uang.

"Ayah saya menderita kanker, dan dengan adanya sanksi, obat kanker hanya akan tersedia di pasar gelap dengan harga lebih tinggi," kata Sadoughi.

Sanksi AS tidak akan mempengaruhi perdagangan barang-barang kemanusiaan seperti makanan dan obat-obatan. Namun langkah-langkah sanksi yang dikenakan pada bank dan pembatasan perdagangan akan membuat hidup semakin sulit bagi pasien di Iran.

"Pada akhirnya, rakyat Iran yang menderita karena kurangnya akal sehat dari rezim mereka sendiri yang tidak siap berkompromi dengan kekuatan dunia (AS)," kata Aftab Hasan, pebisnis asal Dubai.

Namun analis mengatakan, himpitan ekonomi tidak akan menghidupkan kembali kerusuhan anti-pemerintah seperti demonstrasi yang terjadi pada Desember lalu yang berubah menjadi demonstrasi anti-pemerintah.

"Saya tidak peduli dengan politik. Saya tidak peduli siapa yang bertanggung jawab atas masalah kami. Saya tidak ingin perubahan rezim. Saya hanya ingin hidup damai dengan keluarga saya di negara saya," kata ibu rumah tangga, Fariba Shakouri (51), di kota Yazd.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement