REPUBLIKA.CO.ID, DOHA -- Pemerintah Qatar membantah telah mencampuri urusan dalam negeri Bahrain. Pernyataan itu dirilis setelah Bahrain menjatuhi hukuman penjara seumur hidup kepada tiga pemimpin oposisi di negaranya atas tuduhan spionase untuk Qatar.
"Negara Qatar mengutuk bahwa namanya disebutkan dalam konflik internal Bahrain," kata Kementerian Luar Negeri Qatar dalam sebuah pernyataan pada Senin (5/11).
Pengadilan tinggi Bahrain menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup terhadap tiga pemimpin oposisi di negaranya pada Ahad (4/11). Mereka adalah Syekh Ali Salman, Hassan Sultan, dan Ali al-Aswad.
Syekh Ali Salman, yang memimpin gerakan al-Wefaq yang kini dilarang, dituding berkomplot dengan Qatar untuk memicu kerusuhan antipemerintah pada 2011. Syekh Ali dituduh melakukan hal tersebut bersama Hassan dan Ali al-Aswad.
Baca juga, Dituding Jadi Mata-Mata Qatar, Salman Divonis Seumur Hidup.
Menurut jaksa penuntut umum Bahrain, ketiga pemimpin oposisi itu dijatuhi hukuman penjara seumur hidup karena terbukti melakukan tindakan permusuhan terhadap negara dan berkolusi dengan pejabat Qatar untuk menggulingkan tatanan konstitusional.
Namun, tudingan-tudingan itu, yang telah muncul sejak tujuh tahun lalu, baru terungkap tahun lalu, yakni ketika Bahrain, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Mesir memutuskan hubungan dengan Qatar. Keempat negara itu menuding Qatar menyokong gerakan terorisme di kawasan.
Pada 2011, demonstran yang mayoritas komunitas Syiah, menuntut diterapkannya nilai-nilai demokrasi di Bahrain. Peristiwa itu menjadi bagian dari pemberontakan pro-demokrasi di seluruh dunia Arab.
Namun, keluarga kerajaan Bahrain, al-Khalifa, yang memegang sebagian besar pos politik dan militer, berhasil menekan gelombang demonstrasi. Hal itu dilakukan dengan bantuan negara-negara tetangga, terutama Saudi.
Kerusuhan pun tak terhindarkan. Sedikitnya 30 warga sipil tewas saat bentrokan terjadi antara demonstran dan aparat keamanan. Sejak saat itu, Bahrain dilanda kerusuhan. Sebagai respons, sekutu kunci Bahrain, yakni Amerika Serikat (AS) dan Inggris, yang keduanya memiliki pangkalan angkatan laut di negara itu, melarang keberadaan kelompok oposisi. Sementara, ratusan kritikus pemerintah telah dipenjara.