REPUBLIKA.CO.ID, YAOUNDE -- Kelompok separatis bersenjata menculik 78 murid sekolah dan kepala sekolah mereka di Desa Nkwen, Yaounde, Kamerun. Gubenur daerah tersebut Deben Tchoffo mengatakan, penculikan dilakukan pada Ahad (4/11), di dekat Bamenda, pusat daerah berbahasa Inggris.
Para penculik yang menamakan diri mereka Amba Boys, sudah merilis video di media sosial. Kelompok tersebut ingin membuat negara Ambazonia, sebuah negara terpisah di barat laut dan barat daya Kamerun. Pada video tersebut para penculik memaksa anak-anak laki-laki untuk menyebutkan nama dan nama orang tua mereka.
Anak-anak tersebut mengatakan mereka diculik pada Ahad sore dan tidak tahu sedang berada di mana. Di video tersebut para penculik mengatakan akan membebaskan anak-anak yang mereka culik hanya jika keinginan mereka sudah dipenuhi.
Baca juga, Boko Haram Bebaskan Siswi Nigeria.
"Kami hanya akan membebaskan kalian setelah melalui perjuangan, mulai sekarang kalian sekolah di sini," kata Amba Boys kepada anak-anak yang mereka culik, Senin (5/11).
Video tersebut belum dapat dipastikan kebenarannya, sementara para orang tua sudah memberikan respons. Beberapa orang tua mengatakan mengenali anak mereka di video tersebut.
Ratusan orang terbunuh di wilayah berbahasa Inggris di Kamerun selama beberapa pekan terakhir. Pemerintah pusat mengambil tindakan keras terhadap demonstran yang melakukan protes di wilayah barat laut dan barat daya.
Para demonstran mengaku sebagai warga yang berbahasa Inggris dimarginilisasi pemerintahan yang berbahasa Prancis. Kelompok separatis mengangkat senjata untuk menciptakan kerusuhan di wilayah berbahasa Inggris agar bisa melepaskan diri dari pemerintahan pusat.
Pada pekan lalu kelompok separatis menyerang para pekerja yang bekerja di perkebunan karet di barat daya Kamerun. Kelompok separatis tersebut memotong jari para pekerja karena menolak untuk meninggalkan perkebunan tersebut. Seorang misionaris Amerika juga tewas setelah ditembak dalam pertempuran antara kelompok separatis dengan pasukan pemerintah Kamerun.
Kerusuhan terjadi setelah Paul Biya yang sudah menjadi presiden sejak 1982 kembali memenangkan pemilu bulan lalu. Menurut AS pemilu tersebut diwarnai dengan kecurangan. Pemerintah Kamerun sudah menghapus batas kekuasaan presiden beberapa tahun lalu.