REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA— Rusia dan Tingkok memilih tak mendukung resolusi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait penjatuhan sanksi terhadap pelaku perkosaan dan kekerasan seksual di Libya.
Meski Rusia dan Tiongkok memilih abstain, tetapi kedua negara itu tak menggunakan hak vetonya untuk menghentikan sanksi itu.
Duta Besar Rusia, Vassily Nebenzia menuduh Belanda dan Swedia mencoba memenuhi agenda politik agar meningkatkan citra dalam negeri.
Kedua negara itu memang menekan kriteria sanksi baru. Nebenzia menyadari bahwa pencegahan kejahatan seksual di dua negara tersebut menjadi tanggungjawab pemerintah.
"Keputusan populis ini didasari dari bentuknya yang paling murni. Kekerasan seksual dan gender ialah bagian dari kegiatan kriminal di negara manapun," kata Nebenzia dalam rapat dewan keamanan PBB seperti dilansir dari Daily Mail, Selasa (6/11).
Dewan Keamanan PBB menambah kekerasan seksual sebagai kriteria sanksi dalam resolusi terbaru di Sudan Selatan dan Republik Afrika Tengah.
Sementara itu, Deputi Duta Besar Swedia, Carl Skau berharap penambahan kriterai sanksi baru akan memberi efek jera. Selain itu, ia ingin adanya akuntabiltias atas kejahatan semacam kekerasan seksual.
Pandangan Carl tak jauh beda dengan Duta Besar Belanda, Karel van Oosterom. "Sebuah langkah maju bagi Dewan Keamanan untuk memberikan sanksi bagi pelaku kejahatan seksual. Contohnya seperti terjadi di kamp pengungsi dimana banyak pengungsi perempuan diperkosa," ujar Karel.
Sebelumnya, PBB sudah mengingatkan milisi, penyelundup imigran, dan geng untuk tak lagi terlibat perkosaan di Libya. Negara itu mengalami chaos usai penggulingan rezim Moamer Kadhafi pada 2011.
Dewan Keamanan PBB untuk pertama kalinya pada Juni lalu memberi sanksi pada enam orang yang terlibat penjualan imigran Libya.