Selasa 06 Nov 2018 10:06 WIB

Imigran AS Ingin Tentukan Nasib Lewat Pemilu Paruh Waktu

Ratusan ribu imigran AS akan berpartisipasi dalam pemilu paruh waktu AS pada Selasa.

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Nur Aini
Anak-anak imigran yang ditampung dalam pusat detensi di daerah perbatasan di Amerika Serikat
Foto: Forbes
Anak-anak imigran yang ditampung dalam pusat detensi di daerah perbatasan di Amerika Serikat

REPUBLIKA.CO.ID, ARIZONA -- Menjelang pemilu paruh waktu pada Selasa (6/11), Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah berulang kali menabur ketakutan terkait kebijakan imigrasinya. Meski demikian, jumlah pengajuan suaka di AS tercatat telah meningkat lebih dari 25 persen setelah Trump terpilih sebagai presiden.

Menurut Pemerintah AS, para imigran turut diberi hak untuk memilih dalam pemilu, di antara hak-hak lainnya sebagai warga AS, termasuk memilih di pemilu paruh waktu. Setiap tahun, pemerintah menaturalisasi lebih dari 700 ribu imigran. 

 

Imigran asal Irak, Khalid Al Jashame (43 tahun), mengaku pemilu paruh waktu AS tahun ini merupakan kesempatan pertamanya untuk ikut berpartisipasi. "Saya benar-benar bersemangat untuk memilih. Sekarang saya merasa saya benar-benar berada di sini, di Amerika Serikat. Jadi bagian dari negara ini," ujar Al Jashame, kepada Aljazirah.

 

Al Jashame mangatakan ia mengajukan permohonan Visa Imigran Khusus (SIV), sebuah program pemberian 50 visa dalam setahun kepada penerjemah Irak dan Afghanistan untuk tentara AS. Pada 2012, permohonannya disetujui dan dia pergi ke AS pada Maret bersama istri dan dua anaknya. Lima tahun kemudian, dia dinaturalisasi sebagai warga negara AS.

 

"Saya sendiri seorang pengungsi, jadi saya mengerti apa yang menggerakkan orang untuk datang ke negara ini. Seperti bocah lelaki yang terdampar di pantai [Alan Kurdi], saya menyadari bahwa orang tuanya tidak hanya mengambil risiko menyeberangi lautan, mereka melarikan diri dari sesuatu; jika tidak, mereka tentu akan tinggal. Saya ingin tinggal di Irak, jika saya bisa. Saya sangat merindukan Irak," ujar pria yang tinggal di Tucson, Arizona, ini.

 

Al Jashame mengatakan beberapa politikus AS tidak selalu merasakan penderitaan di balik cerita pengungsi. Dengan memberikan suaranya, ia berharap dapat melihat perubahan dan melihat lebih banyak orang yang berkuasa memperlakukan pengungsi dengan rasa hormat.

 

Sementara imigran asal Meksiko, Nancy Avila (35 tahun), mengatakan setelah naturalisasi, dia sekarang bisa memberikan suaranya dalam pemilihan mendatang. Sebelumnya ia tidak terdaftar sebagai pemilih saat pemilu presiden 2016, meski dia benar-benar menginginkan untuk jadi pemilih.

 

"Donald Trump tidak mewakili negara kami dengan baik. Kami ditertawakan di negara lain. Dia mengkategorikan imigran sebagai inferior, tapi bukan itu yang dimaksudkan Amerika Serikat. Kami semua imigran di sini. Bagi saya ini menyedihkan," ujar Avila, yang tinggal di Phoenix, Arizona.

 

Avila mengaku akan memilih Partai Demokrat dengan harapan bisa mengubah situasi politik saat ini. Dia percaya bahwa setiap suara akan memberi pengaruh.

 

"Inilah yang kami pelajari dari pemilu terakhir. Ada orang-orang yang tidak memilih pada saat itu dan sekarang mereka menyesalinya. Itu sesuatu yang sulit bagi saya untuk dipahami. Ada begitu banyak cara untuk memilih," ungkapnya.

 

"Semua orang yang saya tahu melakukan pemungutan suara. Semua orang harus. Memilih jauh lebih baik daripada hanya menandatangani petisi di Facebook. Tindakan berbicara lebih keras daripada kata-kata," kata dia.

 

Pemilu paruh waktu kali ini dilihat sebagai sebuah referendum di dua tahun pertama Trump menjabat. Pemilihan tahun ini juga akan menentukan apakah Partai Republik dapat bertahan untuk tetap mengendalikan Kongres.

Baca: Menghitung Potensi Pemakzulan Trump Lewat Pemilu Paruh Waktu

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement