REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Arab Saudi didesak menghentikan penangkapan sewenang-wenang terhadap jurnalis dan aktivis. Desakan itu muncul ketika Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB menggelar pertemuan Universal Periodic Review (UPR) di Jenewa, Swiss, Senin (5/11).
Pertemuan UPR dihadiri perwakilan dari seluruh negara anggota PBB. Dalam pertemuan tersebut, setiap perwakilan memaparkan tentang kemajuan HAM di negaranya masing-masing. Mereka pun diberi hak untuk mengomentari dan memberikan rekomendasi terkait pelaksanaan HAM di negara-negara lain.
Pada kesempatan tersebut, Duta Besar Prancis untuk PBB di Jenewa Francois Rivasseau menyoroti pelaksanaan HAM di Saudi. Ia meminta Riyadh segera menghentikan penangkapan dan penahanan sewenang-wenang terhadap para jurnalis dan aktivis di negara tersebut. Menurutnya hal itu penting untuk menjamin praktik kebebasan beragama di Saudi.
Duta Besar Inggris untuk PBB di Jenewa Julian Braithwaite mengutarakan hal serupa. Ia mengatakan, Inggris sangat prihatin atas situasi HAM yang memburuk di Saudi. Hal itu tercermin dari banyaknya aktivis HAM yang ditangkap dan ditahan otoritas Saudi. Selain itu, pelaksanaan hukuman mati secara luas memperkeruh kondisi HAM di sana.“Tapi yang paling memprihatinkan adalah pembunuhan (jurnalis) Jamal Khashoggi,” ujarnya, dikutip laman Al Araby.
Baca juga, Saudi Bantah Keterlibatan MBS dalam Kasus Khashoggi.
Ia mendesak Saudi memastikan penyelidikan komprehensif dan transparan atas pembunuhan Khashoggi. Braithwaite pun meminta Saudi memastikan mereka yang bertanggung jawab atas kasus Khashoggi diadili. Hal itu penting dilakukan agar kejadian serupa tidak terulang di masa mendatang.
Selain Inggris, Amerika Serikat (AS) pun mengecam pembunuhan terhadap Khashoggi yang dilaporkan terencana. “Investigasi yang menyeluruh, konklusif, dan transparan yang dilakukan sesuai dengan proses hukum dengan hasil yang dibuat (untuk) publik sangat penting,” kata Duta Besar AS untuk PBB di Jenewa Mark Cassayre.
Sementara delegasi Saudi, yang dipimpin kepala Komisi HAM Saudi Bandar Al Aiban hampir tidak menyinggung tentang kasus Khashoggi dalam pertemuan UPR. Sebaliknya, Al Aiban justru menekankan tentang kemajuan yang telah dibuat negaranya dalam bidang HAM, termasuk reformasi yang memungkinkan kaum wanita mengemudikan kendaraan.
Khashoggi dinyatakan hilang saat memasuki gedung konsulat Saudi di Istanbul, Turki, pada 2 Oktober lalu. Belakangan, Saudi dan Turki mengonfirmasi bahwa Khashoggi telah dibunuh di dalam gedung konsulat.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan telah mengatakan, perintah untuk membunuh Khashoggi berasal dari pejabat tinggi Pemerintah Saudi. Namun, ia masih meragukan bila hal itu langsung dikomandoi oleh Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud.
Kendati demikian, Erdogan tetap merasa kecewa karena Saudi belum juga mengungkap siapa dalang pembunuhan Khashoggi. “Kita harus mengungkap identitas para dalang di balik pembunuhan Khashoggi,” kata Erdogan dalam sebuah opini yang ditulisnya untuk the Washington Post pada Jumat (2/11).
Khashoggi merupakan jurnalis kondang Saudi yang menjadi kolumnis di The Washington Post. Selama berkarier sebagai jurnalis, dia diketahui kerap melayangkan kritik tajam terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil Pemerintah Saudi. Pangeran MBS yang dipuji karena dianggap melakukan reformasi sosial di Saudi, tak luput dari kritikannya.
Dalam sebuah kolom di Washington Post pada 21 Mei lalu, Khashoggi menulis, “Kami diharapkan untuk dengan penuh semangat menyambut reformasi sosial dan menimbun pujian pada putra mahkota (MBS) sambil menghindari referensi apa pun kepada orang-orang Arab perintis yang berani mengatasi masalah ini beberapa dekade lalu.”
Dalam sebuah artikel pada September lalu, Khashoggi kembali mengkritik MBS. Tulisan tersebut berjudul “Saudi Arabia's Crown Prince Must Restore Dignity to His Country - by Ending Yemen's Cruel War”. Melalui tulisannya itu, Khashoggi mendesak Saudi, terutama MBS, untuk segera mengakhiri perang Yaman yang telah menyebabkan bencana kemanusiaan.