Rabu 07 Nov 2018 01:40 WIB

Thailand Tolak Pengamat Asing dalam Pemilu Mendatang

Pemerintah memastikan pemilu akan berjalan lancar dan transparan.

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi (kanan) dan Menteri Luar Negeri Thailand Don Pramudwinai (kiri) memberikan keterangan pers di Gedung Pancasila, Kemenlu, Jakarta, Kamis (11/2).
Foto: Antara/Widodo S. Jusuf
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi (kanan) dan Menteri Luar Negeri Thailand Don Pramudwinai (kiri) memberikan keterangan pers di Gedung Pancasila, Kemenlu, Jakarta, Kamis (11/2).

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK— Pemerintah Thailand menegaskan tidak memerlukan pengamat antarbangsa untuk memantau pemilihan umum pada tahun depan.

Pemerintah berjanji mengadakan pemilihan umum antara Februari dan Mei setelah berulangkali ditunda. Persaingan antara pendukung tentara dan kerajaan dengan kekuatan politik merakyat di bawah Partai Puea Thai. Kekuasaan mereka digulingkan tentara dalam kudeta pada 2014.

Menteri Luar Negeri Don Pramudwinai mengatakan pemilihan umum pada masa lalu di negara Asia Tenggara itu dapat dipercaya. "Dengan orang lain mengamati, berarti negara sedang mengalami masalah," katanya kepada wartawan, Selasa (6/11).  

Terakhir kali Thailand mengadakan pemilihan umum berhasil adalah pada 2011 ketika Yingluck Shinawatra dan partai Puea Thai-nya menang besar.

Pada Februari 2014, pemilihan umum terganggu oleh unjuk rasa besar, yang membuat pemungutan suara terhalang di seperlima dari konstituensi negara itu dan akhirnya mengarah pada kudeta pada Mei 2014.

Human Rights Watch menyatakan pengamat asing harus diizinkan memantau pemungutan suara pada 2019 dan meminta pemerintah mencabut larangan kegiatan politik untuk memastikan pemilihan umum tersebut bebas dan adil.

Peneliti utama Thailand di Human Rights Watch, Sunai Phasuk, mengatakan karena hitung mundur pemilihan umum itu telah dimulai, pemerintah militer Thailand tampaknya berusaha berjabat tangan dan peluang foto di acara besar antarbangsa.

"Tapi menolak mengizinkan sekutu asing datang dan menyaksikan yang terjadi di negara dengan lingkungan pemilihan tidak bebas dan adil," dia kepada Reuters.

Pemerintah militer baru-baru ini melonggarkan pembatasan politik dengan mengizinkan partai politik menggalang diri tapi kampanye dan pertemuan lebih dari lima orang tetap berlaku setidak-tidaknya hingga Desember.

Tanggal pemilihan umum belum ditetapkan tapi pejabat tinggi pemerintah mengatakan kemungkinan pada 24 Februari.

 

 

sumber : Reuters/Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement