Jumat 09 Nov 2018 09:23 WIB

Bangladesh Enggan Terbitkan Izin Rohingya Pindah ke Kanada

Kanada menawarkan untuk menerima pengungsi Rohingya terutama korban pemerkosaan.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Nur Aini
Pengungsi Rohingya di kamp pengungsi Balikhali yang disiapkan khusus untuk janda dan anak yatim, Cox's Bazaar, Bangladesh.
Foto: Damir Sagolj/Reuters
Pengungsi Rohingya di kamp pengungsi Balikhali yang disiapkan khusus untuk janda dan anak yatim, Cox's Bazaar, Bangladesh.

REPUBLIKA.CO.ID, PHNOM PENH -- Pejabat Kanada mengatakan, Bangladesh belum menerima tawaran Kanada mengambil pengungsi Rohingya, temasuk di antaranya perempuan yang mengalami pemerkosaan. Tawaran Kanada tersebut menyusul negara Asia Selatan itu yang berencana memulangkan pengungsi ke negara asal pengungsi, Myanmar bulan ini.

Kanada menawarkan mengambil dalam jumlah terbatas para pengungsi termasuk korban kekerasan seksual. Tawaran tersebut muncul pada Mei lalu ketika Menteri Luar Negeri Kanada Chrstya Freeland mengunjungi Bangladesh. Namun, menurut pejabat Kanada, tawaran itu masih dalam bentuk proposal dan belum ada tanggapan dari Bangladesh.

Pejabat Kanada yang ingin dianonimkan tersebut berkomentar dalam tanggapannya kepada Thomson Reuters Foundation. "Menlu Freeland mengatakan, Kanada bersedia mendiskusikan masalah ini dengan Bangladesh," kata pejabat itu seperti dilansir Arab News, Jumat.

"(Perdana Menteri Bangladesh) Sheikh Hasina mengatakan, para pejabat akan menyelidikinya," kata dia.

Menurut informasi, diskusi antara kedua pemerintah tengah berlangsung. Diskusi tersebut difasilitasi oleh badan pengungsi perserikatan bangsa-bangsa (PBB) atau UNCHR.

Pada Selasa (6/9), penyelidik hak asasi manusia PBB di Myanmar mendesak Bangladesh untuk membatalkan rencana memulangkan ratusan ribu pengungsi Rohingya ke negara bagian Rakhine, Myanmar pada bulan ini. Hal itu karena kekhawatiran pengungsi yang menghadapi risiko tinggi penganiayaan jika kembali ke Myanmar.

Badan PBB membuat laporan Agustus lalu mencatat, 700 ribu muslim Rohingya menyeberang untuk melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh dari Myanmar yang mayoritas beragama Budha. Serangan gerilyawan Rohingya pada Agustus 2017 mengakibatkan muslim Rohingya ketakutan pergi dari tempat tinggal mereka.

Para pakar yang bekerja melindungi pengungsi Rohingya mengatakan, banyak perempuan mengalami trauma mendalam akibat diperkosa oleh tentara Myanmar. Bahkan di beberapa wilayah kamp Bangladesh, perempuan dikucilkan setelah melahirkan.

"Pemindahan perempuan-perempuan trauma ke Kanda adalah hal kemanusiaan yang harus dilakukan," ujar mantan diplomat Belanda yang bertugas di panel internasional yang dipimpin oleh mantan Sekjen PBB Kofi Annan untuk memberi nasihat tentang krisis di negara bagian Rakhine, Laetitia Van Den Assum.

"Jika peluang permukiman terbatas tersedia untuk kelompok khusus ini, Bangladesh harus berpikir lagi dan mengeluarkan visa keluar," kata dia.

Krisis kemanusiaan di Rohingya telah ditandai dengan banyaknya pembunuhan di luar proses hukum, pemerkosaan massal, dan pembakaran desa oleh pasukan keamanan Myanmar. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut operasi tersebut dapat dikategorikan "pembersihan etnis" terhadap Rohingya. Namun, Myanmar mengklaim operasi di Rakhine semata untuk memburu kelompok militan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) yang dinilai bertanggung jawab atas serangan ke sejumlah pos polisi.

Pada akhir Agustus lalu, Tim Misi Pencari Fakta Independen PBB telah menerbitkan laporan tentang krisis Rohingya yang terjadi di Rakhine. Dalam laporan itu, disebut bahwa apa yang dilakukan militer Myanmar terhadap etnis Rohingya mengarah pada tindakan genosida.

Laporan tersebut menyerukan agar para pejabat tinggi militer Myanmar, termasuk panglima tertinggi militer Jenderal Min Aung Hlaing, diadili di Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Dalam laporan tersebut pula, Dewan Keamanan diserukan memberlakukan embargo senjata terhadap Myanmar, menjatuhkan sanksi kepada individu-individu yang bertanggung jawab, dan membentuk pengadilan ad hoc untuk menyeret mereka ke ICC.

Bangladesh, negara tetangga Myanmar merupakan rumah bagi pengungsi terbesar di dunia. PBB mencatat negara tersebut menyediakan tempat perlindungan bagi sekitar 900 ribu orang Rohingya. Beberapa di antaranya melarikan diri dari gelombang kekerasan militer di Myanmar yang sebelumnya pernah terjadi di antara 1978, 1991, dan 1992.

Juru bicara Imigrasi, Pengungsi dan Kewarganegaraan Kanada Beatrice Fenelon mengatakan, Kanada telah menempatkan kembali lebih dari 300 orang dari kamp-kamp di Bangladesh antara 2006 dan 2010. Namun, Bangladesh belum mengeluarkan izin keluar untuk pengungsi Rohingya ke negara lain sejak 2010.

Kemudian, pada Februari UNCHR meminta Bangladesh yang memungkinkan untuk bernegosiasi dengan Kanada, Amerika Serikat, dan beberapa negara Eropa untuk menampung sekita 1.000 pengungsi Rohingya.

Juru bicara kementerian urusan luar negeri Kanada, Guillaume Berube menegaskan, tawaran tersebut dibuat untuk menerima sejumlah pengungsi Rohingya. Namun dia menolak berkomentar mengenai tanggapan Bangladesh dengan alasan kerahasiaan.

Beatrice mengatakan rencana Rohingya terbaru dari Kanada mirip dengan prakarsa 2017 untuk memukimkan 1.200 warga Irak Yazidi - khususnya korban pemerkosaan,  yang ditargetkan oleh ISIS atau Daesh.

"Seperti yang kami lakukan dengan permukiman kembali para korban selamat dari Daesh, niat kami bukanlah untuk memukimkan kembali sebagian besar dari komunitas ini, tetapi lebih fokus pada sejumlah kecil orang yang permukiman kembali merupakan pilihan terbaik,” katanya.

"Tetapi Bangladesh "tidak mengeluarkan izin keluar," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement