REPUBLIKA.CO.ID, PALERMO - Faksi-faksi terkemuka Libya akan bertemu pada Senin (12/11) dalam sebuah konferensi di Palermo, Italia selatan. Konferensi ini merupakan upaya untuk menyatukan kembali lembaga-lembaga negara di Libya dan menemukan jalan baru menuju pemilu.
Konferensi yang akan digelar selama dua hari itu menunjukkan tekad Italia untuk mendapatkan kembali tanggung jawab diplomatik untuk Libya. Sebelumnya, presiden Prancis Emmanuel Macron juga telah mengadakan konferensi di Paris pada Mei lalu, dalam upaya untuk mendorong pemilu di Libya pada 10 Desember.
Italia terperanjat saat Macron secara sepihak mencoba untuk mengurusi Libya. Para politisi percaya, konferensi di Paris dirancang untuk menguntungkan Jenderal Khalifa Haftar, seorang anti-Islamis di timur Libya, daripada pemerintahan yang didukung PBB di Tripoli.
Prancis pada saat itu menyatakan, upaya PBB untuk menciptakan perdamaian telah terhenti, dan prakarsa baru diperlukan untuk merangkul semua pihak.
Konferensi Libya di Palermo telah memicu ketegangan di dalam pemerintahan Italia. Kementerian luar negeri Italia dan PBB tidak diberitahu oleh perdana menteri Italia, Giuseppe Conti, sebelum konferensi diumumkan.
Utusan khusus PBB untuk Libya, Ghassan Salame, pekan lalu mencoba untuk merebut kembali kendali agenda. Ia mengusulkan konferensi diselenggarakan pada minggu-minggu pertama 2019 yang mengarah pada proses pemilu di Libya yang dimulai pada 2019.
Salame didukung oleh jajak pendapat yang menunjukkan 80 persen rakyat Libya menginginkan pemilu. Ia percaya mandat demokratis baru dapat menyingkirkan beberapa politisi di timur dan barat yang secara sistematis menghalangi rekonsiliasi.
Namun Haftar, tokoh terkemuka di timur Libya, mengumumkan pada menit terakhir ia tidak akan hadir dalam konferensi di Palermo, karena kehadiran Qatar dan pendukung Alqaidah dalam acara itu. Italia telah mengupayakan agar ia mempertimbangkan kembali ketidakhadirannya.
Libya telah dicengkeram oleh kekerasan, korupsi, dan perpecahan politik, serta ditopang oleh kekuatan luar, setelah Moammar Gaddafi digulingkan dan dibunuh dalam pemberontakan yang didukung NATO pada 2011. Italia telah secara luas mendukung pemerintahan Libya yang diakui PBB, yang berbasis di Tripoli.
Pemerintahan itu juga telah mendapat dukungan dari faksi-faksi Islam yang didukung oleh Haftar, Uni Emirat Arab (UEA), dan Prancis. Perhatian Italia terhadap Libya didasarkan pada sejarah kolonial, minyak, dan pangkalannya yang dijadikan rute bagi ribuan migran Afrika.
“Konferensi ini harus dilihat sebagai permainan kekuasaan oleh Italia untuk melawan Prancis. Mereka berharap dapat menyelenggarakannya lebih besar dari konferensi di Paris untuk menunjukkan bahwa Italia memiliki legitimasi yang lebih besar, tetapi skalanya justru telah berkurang, dan jumlah menteri luar negeri senior diragukan akan hadir," ujar Spesialis Libya di dewan Eropa untuk hubungan luar negeri, Tarek Megerisi, dikutip The Guardian.
"Dari sudut pandang PBB, konferensi akan dianggap sukses jika mengarah pada penyatuan yang lebih besar dari posisi Eropa, termasuk dukungan Uni Eropa untuk rencana PBB terhadap konferensi nasional yang mengarah ke pemilu," tambah dia.
Dia mengatakan Eropa harus fokus pada tujuan di konferensi, termasuk menyatukan dua bank sentral yang bersaing, menghidupkan kembali pengaturan keamanan di ibu kota Tripoli, dan membangun proses bagi Haftar dan pemimpin militer di barat Libya untuk membahas unifikasi militer.