REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Otoritas imigrasi Myanmar menahan lebih dari 100 Muslim Rohingya di sebuah kapal di Yangon. Perahu yang membawa 106 orang itu dihentikan pada Jumat (16/11) pagi sekitar 30 km di selatan pelabuhan Yangon di Kyauktan.
Kyaw Htay, seorang petugas imigrasi dari Kyauktan, mengatakan, saat ini pihak kepolisian sedang dalam perjalanan untuk menyelidiki peristiwa ini.
"Ada kemungkinan bahwa mereka berasal dari Rakhine. Seperti tahun-tahun sebelumnya, mungkin mereka Bengali dari Rakhine," kata Kyaw Htay.
Banyak orang di Myanmar yang mayoritas beragama Budha menyebut Rohingya sebagai "Bengali". Istilah ini menyiratkan Rohingya adalah imigran gelap dari Bangladesh. Myanmar tidak menganggap Rohingya sebagai kelompok etnis pribumi.
Lebih dari 700 ribu Rohingya melarikan diri dari Myanmar pada tahun lalu. Rohingya mengatakan, tentara membunuh keluarga, membakar desa dan melakukan pemerkosaan. Para penyelidik PBB menuduh tentara Myanmar berniat melakukan genosida terhadap Rohingya.
Myanmar menyangkal hampir semua tuduhan. Myanmar mengatakan pasukan keamanan memerangi teroris yakni gerilyawan Rohingya yang menyebut diri mereka Arakan Rohingya Salvation Army.
Baca juga, PBB Prihatin Warga Rohingya di India Dideportasi ke Myanmar.
Para pejabat dan pekerja bantuan mengatakan, kepada Reuters pekan lalu bahwa puluhan orang Rohingya di Myanmar dan Bangladesh mencoba untuk mencapai Malaysia dengan menggunakan kapal. Mereka melakukan perjalanan setelah musim hujan berakhir pada awal Oktober.
Para pengamat mengatakan rute penyelundupan ke Thailand berbahaya dan mahal. Untuk itu semakin banyak Rohingya memilih perjalanan yang lebih murah dan singkat di sepanjang pantai Teluk Benggala selatan ke Yangon.
Aye Mya Mya Myo, seorang anggota parlemen majelis rendah untuk partai National League dari Kyauktan mengunggah foto-foto di akun Facebook-nya. Dalam foto itu terlihat gambar perahu tua yang penuh dengan wanita mengenakan jilbab, pria dan anak-anak. Pada beberapa gambar, petugas polisi terlihat mengawasi orang-orang tersebut. Dia mengatakan ada 50 pria, 31 wanita dan 25 anak-anak di perahu itu.
Perahu itu menyerupai kapal-kapal yang biasa digunakan Rohingya untuk melarikan diri dari kondisi seperti di Rakhine.
Selama bertahun-tahun, Rohingya di kedua sisi perbatasan telah menaiki kapal penyelundup antara November dan Maret. Perjalanan berbahaya ke Thailand dan Malaysia, sering dilakukan di kapal yang penuh sesak dan banyak menelan korban jiwa.
Thailand menindak hal ini setelah menemukan serangkaian kuburan massal pada 2015. Ini mengarah pada tindakan penyelundup yang meninggalkan kargo manusia dan kapal yang terapung di Laut Andaman.