REPUBLIKA.CO.ID, PNOM PHEN -- Satu-satunya pemimpin senior Khmer Merah yang masih hidup dinyatakan terbukti bersalah melakukan genosida oleh pengadilan kejahatan perang di Kamboja.
Nuon Chea, 92 tahun, "Saudara Nomor Dua" bagi Pol Pot, dan mantan Presiden Khieu Samphan, 87 tahun, dinyatakan bersalah atas genosida etnis Vietnam-Kamboja selama era Khmer Merah pada 1970-an.
Meski demikian, para hakim di pengadilan Khmer Merah mengatakan bahwa walau genosida juga dilakukan terhadap minoritas Cham, kedua lelaki itu tak memiliki "niat genosida. Minoritas Cham merupakan warga muslim yang dipaksa untuk makan daging babi, dilarang shalat, dan Alquran mereka dibakar.
Akibatnya, Nuon Chea dinyatakan bersalah melakukan genosida terhadap Cham dengan level "tanggung jawab superior", sementara terdakwa lainnya dibebaskan dari dakwaan.
Vonis pada Jumat (16/11) adalah pertama kalinya pengadilan memutuskan bahwa Khmer Merah melakukan genosida. Diperkirakan 2 juta orang Kamboja meninggal karena kerja paksa, kelaparan dan pembunuhan massal selama era Khmer Merah, yang berlangsung dari April 1975 hingga Januari 1979.
Rezim ultra-Maois yang brutal, yang dipimpin oleh Pol Pot, memindahkan secara paksa penduduk dari daerah dan kota-kota. Ia mengirim mereka ke kamp-kamp kerja paksa pedesaan, sebuah eksperimen yang memporak-porandakan bangsa ini.
Kedua orang itu telah dijatuhi hukuman penjara seumur hidup setelah dinyatakan bersalah atas kejahatan terhadap kemanusiaan pada 2014. Dalam putusan Jumat (16/11), mereka dinyatakan bersalah atas kejahatan lebih lanjut terhadap kemanusiaan termasuk perkawinan paksa, perkosaan, penganiayaan atas dasar agama dan ras, penghilangan paksa dan pemusnahan.
Orang-orang itu, yang mengaku sebagai pemimpin Khmer Merah tetapi menolak tuduhan terhadap mereka, menerima tambahan hukuman seumur hidup, yang akan digabungkan dengan hukuman penjara yang ada. Banyak pengamat percaya bahwa keputusan itu kemungkinan menandai keputusan akhir untuk pengadilan yang didukung PBB.
Didirikan pada 2006, Pengadilan Kamboja, sebagaimana diketahui secara resmi, sejauh ini hanya menghukum tiga orang. Satu-satunya orang lain yang dihukum adalah Kaing Guev Ek, yang dikenal sebagai Duch, yang mengoperasikan penjara terkenal S21 di Phnom Penh, di mana 12 ribu orang tewas.
Pol Pot meninggal sebagai warga bebas pada 1998, sementara "Saudara Nomor Tiga"-nya, Leng Sary dan istrinya, Leng Thirith, keduanya dituntut tetapi meninggal sebelum mereka dapat diadili.
Pengadilan masih memiliki tanggungan dua kasus, mengenai anggota-anggota dari kelompok berikutnya dalam hierarki Khmer Merah. Tetapi seiring dengan menuanya terdakwa, pengadilan menghadapi tantangan pendanaan abadi dan oposisi politik yang kuat di Kamboja, tampaknya tidak mungkin mereka akan dituntut. Perdana Menteri Hun Sen -ia sendiri mantan komandan Khmer Merah - telah lama menjadi penentang keras untuk mengizinkan kasus-kasus itu berlanjut.
Rebecca Gidley, seorang pakar di pengadilan yang berpusat di Australian National University (ANU), mengatakan bahwa Pemerintah Kamboja memiliki banyak hal yang dipertaruhkan.
"Narasi yang telah dibangun oleh Partai Rakyat Kamboja selama beberapa dekade adalah segelintir kecil pemimpin jahat dan lainnya, termasuk diri mereka sendiri sebagai mantan pemimpin Khmer Merah, tak bersalah atas semua kejahatan yang terkait dengannya," kata Gidley.
"Jadi setiap perluasan target tersangka adalah ancaman terhadap narasi yang telah mereka bangun sejak 1979."
Dengan hampir 40 tahun berlalu sejak jatuhnya rezim itu akibat invasi yang didukung Vietnam, banyak orang Kamboja mengatakan mereka sekarang lebih memilih untuk melihat masa depan daripada tinggal di masa lalu. Hampir 70 persen penduduk Kamboja berusia di bawah 30 tahun, yang berarti sebagian besar penduduk tidak hidup melalui masa tergelap di negara mereka.
Tapi Youk Chhang, direktur Pusat Dokumentasi Kamboja, yang mengkategorikan kekejaman yang dilakukan di bawah Khmer Merah, mengatakan tidak ada yang melarikan diri dari fakta bahwa negara itu sekarang dibentuk oleh "ladang pembantaian" yang terkenal.
Ia mengatakan, periode itu harus diingat, agar tidak terjadi lagi.
"Tidak seorang pun ingin tinggal di era Khmer Merah, tidak ada yang ingin mengingat Khmer Merah ... tetapi bagaimana Anda bisa melupakan kejahatan yang dilakukan terhadap kerabat Anda, saudara dan saudari Anda sendiri, dan jutaan rekan Anda?," tanya Chhang.
"Lukanya dalam sehingga tak mungkin dihapus dari ingatan Anda."
Chhang, yang juga seorang penyintas Khmer Merah, mengatakan putusan pada Jumat (16/11) adalah tonggak bersejarah bagi Kamboja.
"Kami didorong oleh komunitas internasional untuk menghadapi masa lalu kami yang mengerikan, dan kami melakukan ini," katanya.
"Jadi dengan menghadapi ini - melalui pengadilan, melalui pendidikan - saya pikir Kamboja [menunjukkan] banyak keberanian dan menunjukkan sisi yang lain, yang merupakan ketahanan rakyat Kamboja."
Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.