REPUBLIKA.CO.ID, oleh Lintar Satria
Ketika Yasmin Helles masih seorang mahasiswa sastra Inggris di Univeritas Gaza, ia menghabiskan sebagian besar waktunya di internet. Mencari informasi yang dapat membantu kehidupan akademisnya, ia selalu bertanya-tanya siapa yang mendasain situs yang membuat semua informasi yang ia butuhkan tersedia.
Helles ingin menjadi orang itu. Enam bulan yang lalu perempuan berusia 24 tahun ini melihat iklan Gaza Sky Geeks (GSG) sebuah inkubator teknologi yang sedang mencari mahasiswa yang baru lulus untuk ikut sekolah programming atau koding pertama di wilayah perang di Palestina. Sebuah wilayah yang sangat rentan dengan serangan udara.
Tak terduga Helles berhenti dari pekerjaannya sebagai guru bahasa Inggris dan menghabiskan waktunya untuk mengejra mimpinya. Sekarang, ia sudah bergabung dengan sekolah koding itu.
"Saya katakan kepada diri saya sendiri, ya ini yang saya inginkan," kata Helles, kepada Aljazirah, Ahad (18/11).
Gaza adalah rumah untuk 2 juta orang dan menjadi salah satu kota dengan tingkat penganguran tertinggi di dua. Lebih dari 50 persen angkatan kerja tidak memiliki pekerjaan.
Pengangguran di Gaza disebabkan isolasi yang diterapkan oleh Israel dan dibantu Mesir di bawah pemerintahan Hosni Mubarak serta penggantinya Abdel Fattah el-Sisi sejak 2007. Tetapi, di tengah pengepungan masyarakat Gaza melihat cercah harapan.
Banyak pengusaha teknologi yang bersifat rintisan atau biasa dikenal start-up dan akselator teknologi seperti inkubator dan sekolah koding yang menyediakan kesepatan kepada masyarakat Gaza yang sebelum tidak pernah ada.
Sekolah Koding GSG didirikan pada tahun 2017 dari dana hibah Google dan kamp pelatihan koding di London yakni Founders & Coders. Sekolah ini bertujuan untuk memberdayakan siswa menjadi full-stack developers, atau seorang pemrogram yang dapat membangun perangkat lunak untuk telpon pintar, situs atau komputer.
Lulusannya belajar untuk mengamplikasikan produk perangkat lunak berkualitas di internet dan memiliki tingkat keamanan termuktahir untuk bekerja di perusahaan atau seorang pekerja lepas. Tidak banyak syarat yang dibutuhkan untuk bisa sekolah menjadi programmer di GSG.
Siswanya tidak harus memiliki pengalaman di bidang teknis terlebih dahulu. Mereka hanya harus memiliki banyak waktu luang, kemampuan berbahasa Inggris di level menengah dan motivasi kuat untuk menjadi seorang programmer perangkat lunak. Mereka mengajarkan programming kepada siapa pun tanpa memandang spesialiasi atau pengetahuan teknis mereka.
Akademi ini juga memegang teguh nilai-nilai kesetaraan. Jumlah laki-laki dan perempuan harus seimbang untuk 16 kursi yang tersedia. Nilai-nilai yang langka untuk wilayah Gaza yang konservatif.
Meskipun, Helles tidak memiliki pengalaman mengkoding tapi ia menantang dirinya sendiri dan memenuhi syarat untuk menjadi siswa di akademi ini. Ia mendapatkan satu kursi dari delapan kursi yang tersedia untuk perempuan.
Nilai-nilai kesetaraan gender ini memang cukup kuat di perusahaan-perusahaan teknologi. Dalam sebuah laporan bulan Mei lalu satu dari tiga pegawai Google, Facebook dan Apple adalah perempuan.
Helles mengatakan, dorongan para manajer-manajer di GSG agar perempuan untuk berpartisipasi di pemrograman lebih tinggi dibandingkan di Silicon Valley-pusat teknologi dunia di California, Amerika Serikat. Helles mengungkapkan kebanggaannya menjadi salah satu perempuan muda yang terlibat di industri teknologi yang mana didominasi oleh laki-laki.
Kurikulum di sekolah ini diajarkan dalam proyek-proyek yang berbasis kelompok. Dalam satu kelompok tersebut berisi empat orang siswa. Mereka diminta untuk membuat satu tim untuk mencari masalah dan menemukan solusi logis yang akhirnya digunakan untuk merancang dan membuat situs.
Karena program koding menjadi bagian dari organisasi internasional maka pengajar dan fasilitator asing bisa meminta izin dari Israel untuk memasuki Gaza untuk mengajarkan kurikulum mereka. Setelah menyelesaikan proses pengajaran para siswa dapat menjadi full-stack developers yang dapat bekerja di tim yang lebih besar lagi.
Helles menjelas mereka dapat membuat rancangan untuk menguji ide-ide mereka. Para siswa juga dapat bekerja untuk klien sebagai pekerja lepas dan juga mengatur produk.
Berdasarkan data dari Bank Dunia, angka pengangguran anak-anak muda di Gaza mencapai 70 persen. Bagi para siswa yang ambisius dan pintar serta beruntung seperti Helles bisa belajar di GSG menjadi kesempatan yang sangat berarti untuk bisa menghindari pengangguran.
Akademi ini juga membimbing lulusannya sampai dapat kerja. Mereka juga membantu memberikan penilaian dan memberikan pengarahan dalam pekerjaan mereka. Seorang laki-laki muda berusia 23 tahun, Ibrahim Al-Sheik mengatakan menulis kode-kode komputer telah terbukti menjadi cara tercepat mendapatkan pekerjaan di wilayah pengepungan.
"Ini pengalaman yang sangat luar biasa berdampak positif terhadap pribadi saya," kata Sheik.
El-Shiek lulusan teknik komputer dari Universitas Al-Azhar Gaza ini mengatakan waktunya di GSG tidak hanya membantunya mencari pekerjaan. Tapi mereka juga memberikan kemampuan untuk meraih kesuksesan.
"Kepercayaan diri, kemandirian, kerja sama tim, dan komunikasi yang bagus dengan klien, sementara memperbaiki bahasa Inggrisn, akademi telah memberikan banyak hal kepada saya," kata Sheik.