Rabu 21 Nov 2018 12:14 WIB

Korsel Bubarkan Yayasan Perempuan Korban Budak Seks Jepang

Penyintas menolak kesepakatan pembayaran kompensasi.

Rep: Lintar Satria / Red: Nur Aini
Seorang perempuan mengambil gambar patung seorang gadis yang melambangkan korban budak seks Jepang saat PD II di depan Kedubes Jepang di Seoul, Korsel, Selasa, 29 Desember 2015.
Foto: AP Photo/Lee Jin-man
Seorang perempuan mengambil gambar patung seorang gadis yang melambangkan korban budak seks Jepang saat PD II di depan Kedubes Jepang di Seoul, Korsel, Selasa, 29 Desember 2015.

REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Pemerintah Korea Selatan (Korsel) membubarkan yayasan perempuan korban budak seks tentara Jepang. Perempuan yang dijadikan budak seks atau jugun ianfu adalah para perempuan yang menjadi korban perbudakan seks selama Jepang menjajah Semenanjung Korea dari awal abad ke-20 sampai berakhirnya Perang Dunia II.

"Kami memutuskan untuk membubarkan yayasan setelah banyak peninjauan dan diskusi untuk mempertimbangkan para korban," kata Menteri Kesetaraan Gender dan Keluarga Korsel Jin Seon-mi, seperti dilansir dari UPI, Rabu (21/11).

Pengumuman itu setelah adanya kerenggangan hubungan diplomatik antara Korsel dan Jepang. Beberapa bulan terakhir hubungan kedua negara tersebut sempat menegang karena isu-isu sejarah kolonialisme Jepang di Semenanjung Korea.

Pada 2015, Korsel dan Jepang mencapai kesepakatan untuk menyelesaikan persoalan masalah budak seks. Pemerintah Jepang membayar 9 juta dolar AS atau satu miliar yen untuk yayasan Rekonsiliasi dan Pemulihan sebagai kompensasi kepada para penyintas dan keluarga korban yang telah meninggal dunia.

Tapi para penyintas menolak kesepakatan tersebut dan mengatakan pemerintah Jepang mencoba untuk lari dari kejahatan perang yang mereka lakukan dengan uang. Para korban dan aktivis meminta pemerintah Korsel untuk menutup yayasan tersebut.

Yayasan Rekonsiliasi dan Pemulihan itu didirikan pada 2016. Yayasan tersebut sudah tidak lagi bekerja dengan optimal selama satu setengah tahun terakhir setelah beberapa direkturnya mengundurkan diri karena tidak adanya dukungan dari pada korban.

Di bawah pemerintahan Presiden Moon Jae-in kini Korsel mulai mempertimbangkan kesepakatan pada 2015 yang ditandatangani pemerintahan sebelumnya. Mereka juga memutuskan untuk tidak menggunakan uang dari Jepang dan menutupinya dengan dana dari pemerintah Korsel.

Pada September lalu Moon mengatakan dalam pertemuannya dengan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe bahwa kedua belah pihak harus mencari cara untuk menutup yayasan tersebut. Bulan lalu Korsel dan Jepang kembali melakukan pertemuan yang diwakili wakil menteri luar negeri masing-masing.

Korsel ingin menutup yayasan tersebut yang tidak berfungsi dengan baik. Sementara Jepang tetap mendesak agar kesepakatan pada 2015 dapat tetap diimplementasikan.

Salah seorang penyintas berusia 97 tahun meninggal dunia bulan lalu. Kematian Ha Jeon-yeoun tersebut mengurangi jumlah penyintas perbudakan seks militer Jepang selama masa kolonial. Kini tinggal 27 orang yang masih hidup dari total 240 perempuan yang tercatat sebagai penyintas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement