Kamis 22 Nov 2018 11:12 WIB

Repatriasi Rohingya ke Myanmar Tuai Kekhawatiran

Irlandia menyarankan repatriasi Rohingya dipertimbangkan kembali.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Suasana perumahan di Kamp Pengungsi Rohingya di Propinsi Sittwe, Myanmar.
Foto: Edwin Dwi Putranto/Republika
Suasana perumahan di Kamp Pengungsi Rohingya di Propinsi Sittwe, Myanmar.

REPUBLIKA.CO.ID, DUBLIN -- Menteri Luar Negeri Irlandia Simon Coveney meminta Bangladesh dan Myanmar mempertimbangkan kembali proses repatriasi pengungsi Rohingnya. Ia menilai, masih ada kekhawatiran dari pengungsi Rohingya untuk kembali ke negara bagian Rakhine.

Coveney mengaku khawatir tentang pengaturan yang telah disepakati Bangladesh dan Myanmar untuk memulai repatriasi hingga 5.000 pengungsi. "Saya mencatat kekhawatiran yang diungkapkan Badan PBB untuk Pengungsi (UNHCR) yang berada di lapangan dan fakta bahwa badan-badan PBB belum dimasukkan dalam diskusi ini," katanya ketika berbicara di parlemen Irlandia, dikutip laman Anadolu Agency, Kamis (22/11).

"Saya juga mencatat tentang laporan bahwa banyak pengungsi yang bersangkutan tidak ingin dipulangkan, mengingat kondisi lapangan di negara bagian Rakhine," ujar Coveney.

Oleh sebab itu, ia menyerukan Myanmar dan Bangladesh mempertimbangkan kembali pengaturan proses repatriasi pengungsi Rohingya. "Saya menyerukan Myanmar dan Bangladesh mempertimbangkan kembali pengaturan ini dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna menciptakan kondisi seperti itu sebelum mengambil langkah lebih lanjut atau prematur menuju repatriasi," katanya.

Ia juga meminta Bangladesh dan Myanmar melakukan dialog lebih lanjut dengan mitra internasional. Di sisi lain, kedua negara tadi juga harus memprioritaskan suara para pengungsi yang hendak direpatriasi.

Bangladesh dan Myanmar telah menyepakati proses repatriasi Rohingya. Untuk gelombang awal, Pemerintah Myanmar menyatakan siap menerima kepulangan lebih dari 2.200 pengungsi.

Kendati demikian, masih banyak pengungsi yang ragu dan bahkan takut untuk dipulangkan. Terdapat beberapa alasan yang membuat mereka bersikap demikian. Salah satunya adalah belum dihukumnya para pelaku kekerasan terhadap mereka saat militer Myanmar menggelar operasi pada Agustus 2017.

UNHCR telah menyerukan Myanmar agar mengizinkan para pengungsi Rohingya untuk terlebih dulu mengunjungi tempat asalnya atau tempat mereka akan dimukimkan kembali. Hal itu dilakukan agar para pengungsi memiliki penilaian sendiri tentang apakah mereka betul-betul dapat kembali ke sana dengan aman dan bermartabat.

UNHCR pun masih menyangsikan bahwa hak-hak dasar Rohingya, khususnya jaminan kewarganegaraan mereka, dapat dipenuhi oleh Myanmar. Terdapat lebih dari 700 ribu pengungsi Rohingya yang kini berada di Bangladesh. Mereka mulai melarikan diri pada Agustus tahun lalu, yakni ketika militer Myanmar menggelar operasi pemburuan terhadap milisi Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) di negara bagian Rakhine.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement