REPUBLIKA.CO.ID, SRINAGAR – Sedikitnya sembilan orang tewas dalam bentrokan yang terjadi antara pemberontak dan petugas polisi India di Kashmir selatan yang dikuasai India, pada Ahad (25/11).
Bentrok di wilayah yang disengketakan itu merupakan peristiwa pertumpahan darah terburuk dalam satu dekade ini.
Baku tembak dimulai di desa Kapran di distrik Shopian, Kashmir selatan yang menewaskan enam militan. Pertempuran itu kemudian memicu bentrokan antara polisi dan penduduk setempat di distrik sekitarnya, yang menewaskan seorang warga sipil berusia 15 tahun.
Seorang pejabat senior polisi mengatakan kepada Aljazeera, seorang perwira polisi yang terluka dalam baku tembak, akhirnya tewas tak lama setelah tertembak. Dalam insiden terpisah, seorang pemberontak juga tewas dalam bentrokan di Distrik Awantipora.
"Keenam pemberontak yang tewas itu telah dicari polisi karena terlibat dalam berbagai kasus dan termasuk dalam kelompok gabungan Hizbul Mujahideen dan Lashkar-e-Taiba. Tiga di antaranya adalah komandan pemberontak," kata pejabat itu.
Pihak berwenang mengatakan, polisi meluncurkan operasi setelah menerima informasi pada Sabtu (24/11) malam tentang kehadiran para pemberontak di rumah seorang petani di Desa Kapran. "Kelima pemberontak adalah penduduk setempat dan satu orang asing," kata seorang pejabat polisi.
Penduduk mengatakan rumah petani itu hancur dalam pertempuran. Operasi kali ini merupakan operasi kedua yang diluncurkan pasukan keamanan India dalam tiga hari terakhir.
Ketika berita tentang pembunuhan pemberontak menyebar, ratusan warga sipil setempat turun ke jalan. Mereka membawa slogan anti-India dan terlibat bentrokan dengan pasukan keamanan.
"Sebanyak 20 orang menderita cedera. Empat dari mereka tertembak di mata. Empat lainnya juga menderita luka tembak. Bahkan seorang gadis berusia 18 bulan dipukul dengan senapan di mata dan wajahnya, meski saat ini sudah dalam kondisi stabil," kata seorang dokter di Kota Shopian, yang berbicara secara anonim di Aljazeera.
Ketika ketegangan meningkat, pihak berwenang memutus akses internet di distrik yang terpengaruh, untuk menghentikan penyebaran aksi protes.
Sementara itu, kelompok pemberontak di Kashmir, yang menuntut negara merdeka atau merger dengan Pakistan, telah melayangkan protes pada Senin (26/11) atas pembunuhan anggota mereka.
Penduduk di Kashmir selatan sering bepergian berkelompok saat ada operasi yang dilakukan oleh pasukan keamanan. Hal itu dapat membantu para pemberontak untuk melarikan diri.
Namun, 16 pemberontak telah tewas dalam tiga operasi sejak Selasa (20/11). Meskipun waspada terhadap adanya baku tembak, penduduk di Kashmir selatan terus mendukung pemberontak bersenjata.
"Mereka mungkin menyebutnya teroris, tetapi mereka adalah anak-anak kami yang memerangi ketidakadilan. Ribuan orang keluar dan menghadapi peluru untuk menyelamatkan para pemberontak yang bertindak sebagai pembuka mata untuk India," kata Gulshan Nazir (45), kepada Aljazeera.
"Ketidakadilan dan penindasan ini tidak membedakan antara sipil dan pemberontak. Mereka bahkan tidak mempedulikan seorang anak, yang dipukul dengan senapan," tambah dia.
Kashmir yang dikuasai India telah mengalami lonjakan kekerasan sejak pembunuhan seorang komandan pemberontak pada 2016.
Kelompok hak asasi yang berbasis di Kashmir, Jammu and Kashmir Coalition of Civil Society (JKCCS), mengatakan 528 orang telah tewas tahun ini dalam konflik bersenjata di wilayah yang disengketakan itu dan 145 di antaranya adalah warga sipil.
Koordinator JKCCS, Khurram Parvez, mengatakan ini adalah tahun paling berdarah sejak 2009. Ia menyalahkan kelemahan politik Partai Bharatiya Janata (BJP), partai berkuasa utama di India.
Dia menyebut pemilihan federal akan berlangsung di India dalam beberapa bulan dan pemerintah BJP menjual kantong mayat Kashmir untuk mendapatkan suara.
“Mereka ingin menunjukkan kekuatan mereka untuk menutupi kegagalan mereka dalam pemerintahan," papar Parvez.