Rabu 28 Nov 2018 10:56 WIB

Pilot Lion Air Berjuang Kendalikan Pesawat Hingga Terjatuh

Pilot berusaha berulang kali menarik hidung pesawat.

Puing pesawat Lion Air PK-LQP JT-610 di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (5/11).
Foto:
Petugas SAR gabungan mengevakuasi puing pesawat Lion Air JT 610 saat tiba Posko Terpadu Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Sabtu (3/11).

Dalam pernyataan pada Selasa (27/11), Boeing mengaku tak bisa mendiskusikan ihwal jatuhnya pesawat tersebut ketika proses investigasi masih berlangsung. Masih banyak pertanyaan dalam kasus ini. Salah satunya, mengapa pesawat yang mempunyai persoalan pada sensor penerima diperbolehkan untuk terbang.

Perbedaan penunjuk kecepatan

Pesawat Lion Air JT 610 jatuh di perairan Karawang, Jawa Barat, Senin (29/10), setelah lepas landas dari Jakarta. Hingga saat ini, petugas masih mengidentifikasi 189 penumpang dan awak pesawat yang menjadi korban.

Akhir pekan lalu, Nurcahyo Utomo mengatakan, saat pesawat Lion Air JT 610 mulai bergerak setelah lepas landas, terjadi perbedaan penunjukan kecepatan angle of attack (AoA) indikator milik kapten dan kopilot.

"Jadi, pada saat pesawat mulai bergerak, mulai terjadi perbedaan penunjukan kecepatan antara kapten dan kopilot. Angle of attack indikator sejak mulai dari pesawat bergerak sudah terlihat ada perbedaan antara kiri dan kanan, di mana indikator yang kanan lebih tinggi dari pada yang kiri," kata Nurcahyo.

Menurut Nurcahyo, grafik dari FDR mencatat dan menunjukkan pesawat mengalami stall, yaitu keadaan pesawat yang kehilangan gaya angkat, sehingga tidak sanggup lagi melayang di udara mengakibatkannya jatuh dari ketinggian dan tidak terkendali.

Saat itu, kemudian stick shaker bekerja membuat sisi kemudi kapten pilot bergetar untuk mengingatkan pesawat akan stall atau kehilangan daya angkat.

"Saat menjelang terbang, di sini tercatat bahwa ada garis merah di sini yang menunjukkan pesawat mengalami stall atau stick shaker. Jadi, itu adalah kemudinya di sisi kapten mulai bergetar. Ini adalah indikasi yang menunjukkan pesawat akan alami stall atau kehilangan daya angkat," kata Nurcahyo.

Nurcahyo mengatakan, grafik pesawat saat itu tetap terbang dengan sempat turun sedikit kemudian naik lagi. Saat itu, pesawat berada di ketinggian 5.000 kaki atau 1.524 meter. Akibat pembacaan AoA yang kacau tersebut, mekanisme stabilizer trim atau alat untuk menurunkan hidung pesawat itu secara otomatis bekerja.

"Kemungkinan disebabkan angle of attack di tempatnya kapten yang berwarna merah ini menunjukkan 20 derajat lebih tinggi dan kemudian memacu terjadinya stick shaker mengindikasikan ke pilot bahwa pesawat akan stall kemudian automatic system atau MCAS menggerakkan pesawat untuk turun," kata Nurcahyo.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement