REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Cina mengirim mata-mata negara untuk tinggal di rumah-rumah Muslim Uighur. Mereka menghadiri pernikahan keluarga dan pemakaman keluarga Muslim yang tinggal di wilayah barat Cina, Xinjiang.
Mata-mata ini dipaksa untuk menempatkan pejabat Partai Komunis di rumah mereka. Sejak awal 2017, orang-orang Uighur telah mengalami rezim keamanan yang semakin ketat. Termasuk pos-pos pemeriksaan bersenjata dan jalan-jalan yang dipenuhi dengan CCTV yang dilengkapi dengan pengenalan wajah.
Para ahli dan kelompok hak asasi manusia percaya sekitar satu juta orang Uighur laki-laki kebanyakan ditahan di kamp-kamp internir rahasia di seluruh provinsi di Cina. Awalnya pemerintah Cina menyangkal keberadaan kamp, yang mereka sebut sebagai “pusat pelatihan kejuruan” sukarela ini.
Seorang Muslim Uighur, Halmurat Idris mengatakan, pemerintah Cina menyebut kampanye program ini, "berpasangan dan Menjadi Keluarga." Muslim Uighur dipaksa memposting di media sosial 'saudari' baru mereka.
Pemerintah Cina menggambarkan program itu sebagai sukarela, tetapi Muslim China sangat sadar bahwa menolak inisiatif negara dapat menyebabkan mereka dicap sebagai ekstremis dan radikal. Media sosial sebagai ajang menunjukkan 'kerabat' baru mereka dengan menghadiri acara pernikahan Uighur, pemakaman, dan kesempatan lain agar dianggap intim dalam keluarga.
"Saya ingin muntah. Saat aku melihat wanita tua itu, aku berpikir, 'Ugh, orang ini adalah musuh kita.' Jika musuhmu menjadi ibumu, pikirkan tentang itu - bagaimana perasaanmu?" kata Idris dilansir dari Independent, Jumat (30/11).
Pria berusia 49 tahun itu, mengkritik kampanye "Berpasangan dan Menjadi Keluarga" suku Han dengan Uighur. Mereka mengunggah posting media sosial oleh orang-orang Uighur yang terlibat ancaman keamanan.
Menurut surat kabar resmi lokal, Partai Komunis telah mengeraha 1,1 juta pejabat pemerintah lokal untuk menghabiskan sekitar satu pekan setiap dua bulan tinggal di rumah keluarga angkat Uighur. Associated Press melaporkan, telah mewawancarai empat orang Uighur lainnya yang tinggal di luar negeri.
Mereka terhalang untuk berhubungan dengan kerabat di kampung halamannya di Xinjiang. Di hadapan kerabat palsu mereka, anggota keluarga yang diwawancarai tidak dapat beribadah atau mengenakan pakaian keagamaan, dan pejabat pemerintah harus mengetahui semua rahasia dari setiap gerakan mereka.