REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- CIA memiliki bukti Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman (MBS) telah berulang kali berkomunikasi dengan seorang penasihatnya, Saud al-Qahtani, saat aksi pembunuhan jurnalis Saudi, Jamal Khashoggi, berlangsung. Pembunuhan itu diyakini berada di bawah komando al-Qahtani.
Al-Qahtani menduduki puncak daftar orang-orang Saudi yang menjadi sasaran sanksi Amerika bulan lalu atas dugaan keterlibatan dalam pembunuhan Khashoggi. Badan-badan intelijen Amerika memiliki bukti MBS dan al-Qahtani telah bertukar 11 pesan.
Pertukaran pesan itu adalah informasi kunci yang membantu memperkuat penilaian CIA bahwa MBS telah memerintahkan pembunuhan Khashoggi. "Itu adalah bukti memberatkan yang tak terbantahkan," kata Bruce Riedel, mantan agen CIA yang sekarang bekerja di Brookings Institution.
“Hanya ada satu hal yang bisa mereka bicarakan. Ini menunjukkan putra mahkota telah melakukan pembunuhan terencana," papar dia, dikutip New York Times.
Informasi mengenai penyadapan pesan ini pertama kali dilaporkan oleh The Wall Street Journal, yang meninjau dokumen sangat rahasia milik CIA terkait pembunuhan Khashoggi. Kebocoran dokumen rahasia itu, menurut para pejabat, telah membuat Direktur CIA Gina Haspel marah.
Anggota Kongres bahkan meminta Haspel untuk datang ke Capitol Hill untuk memberi penjelasan kepada mereka. Al-Qahtani telah menjadi salah satu penasihat terdekat MBS. Ketika kepala tim elit Saudi yang mengeksekusi Khashoggi, Maher Abdulaziz Mutreb, direkam oleh intelijen Turki mengatakan "katakan pada bos Anda bahwa tim telah melakukan misi", ia dipercaya oleh badan-badan intelijen Amerika tengah berkomunikasi dengan al-Qahtani.
Sebanyak 11 pertukaran pesan antara MBS dan al-Qahtani juga diyakini terkait dengan laporan Mutreb yang telah selesai melakukan misi pembunuhan Khashoggi.
Meski demikian, sejumlah pejabat bersikeras, meski ada komunikasi semacam itu yang memperkuat kesimpulan CIA, hal itu bukanlah bukti yang definitif yang diinginkan Presiden AS Donald Trump. Perlu bukti lebih untuk meyakinkan Trump bahwa MBS telah memerintahkan pembunuhan itu.
Bukti seperti itu, menurut mereka, amat sangat jarang digunakan. CIA dan lembaga-lembaga lainnya dituduh sering kali membuat kesimpulan berdasarkan informasi yang tidak sempurna.
CIA telah mengatakan kepada anggota parlemen, mereka memiliki keyakinan di level sedang hingga tinggi bahwa MBS telah memerintahkan pembunuhan itu. Level keyakinan sedang hingga tinggi itu menunjukkan bahwa CIA tidak memiliki rekaman MBS telah memerintahkan pembunuhan.
Gedung Putih dan Trump telah menunjukkan keengganan untuk mencabut dukungan mereka bagi Arab Saudi dan MBS. Secara pribadi, bahkan beberapa Republikan di Capitol Hill yang percaya MBS memerintahkan pembunuhan, mengatakan mereka mendukung keputusan pemerintah untuk tidak memaksakan sanksi yang signifikan terhadap Arab Saudi, dengan alasan dukungan kerajaan itu diperlukan untuk menghadapi ancaman dari Iran.
Tidak jelas apakah CIA memiliki isi pesan antara MBS dan al-Qahtani. Ada kemungkinan badan-badan intelijen Amerika tahu isi dari komunikasi mereka, tetapi juga mungkin hanya mengumpulkan metadata terkait komunikasi itu.
Sejumlah pertanyaan penting lainnya tetap tidak terselesaikan. Hal yang pertama adalah apa yang al-Qahtani sampaikan kepada MBS dalam 11 pesan itu, mengingat dua orang itu dapat berkomunikasi terus-menerus hampir setiap hari, tidak hanya pada saat Khashoggi dibunuh.
Setelah pembunuhan itu, al-Qahtani dicopot dari jabatan penasihatnya dan dituduh mengucapkan bahasa yang kasar yang ditujukan pada Khashoggi. Namun, dia tidak dituduh terlibat dalam aksi pembunuhan itu oleh Arab Saudi.
Al-Qahtani, yang bertanggung jawab atas kampanye media sosial di kerajaan, telah terlibat dalam permainan kekuasaan yang memperkuat cengkeraman MBS di negara itu. Hal itu termasuk penahanan para bangsawan dan pengusaha di Ritz-Carlton di Riyadh.
Dia mulai bekerja di istana satu dekade yang lalu, dan kemudian muncul sebagai propaganda utama MBS. Dengan pengikut Twitter yang besar, dia membantu membuat daftar hitam musuh putra mahkota dan kemudian menyerang media massa secara besar-besaran.