REPUBLIKA.CO.ID, KATOWICE -- Pertemuan perubahan iklim PBB yang dimulai pada Senin (3/12), memperingatkan generasi saat ini akan menjadi generasi terakhir yang dapat mencegah bencana pemanasan global dan dampaknya yang menghancurkan. Perwakilan 200 negara melakukan pertemuan untuk membahas perubahan iklim atau pemanasan global selama dua pekan di Polandia.
"Kita (seluruh dunia) jelas generasi terakhir yang bisa melakukan perubahan dalam perubahan iklim, tapi kita juga generasi terakhir yang mendapatkan konsekuensinya," kata CEO Bank Dunia Kristalina Georgieva seperti dilansir dari the Guardian pada Senin (3/12).
Bank Dunia mengumumkan dana untuk perubahan iklim dari 2021 sampai 2025 sebesar 100 miliar dolar AS untuk pertama kalinya dipecah menjadi dua bagian. Pertama untuk proyek pengurangan emisi dan kedua untuk melindungi rakyat dari banjir, badai, dan bencana yang disebabkan semakin memburuknya pemanasan global.
Pertemuan di Polandia itu bertujuan untuk memastikan kesepakatan penurunan karbon yang sudah ditetapkan di Paris pada 2015 diimplementasikan. Tindakan yang cepat akan menjadi kunci untuk meraih tujuan tersebut. Perjanjian saat ini membuat dunia semakin memanas 3 derajat Celsius.
Negosiasi itu dilatarbelakangi berita buruk, selama empat tahun terakhir tercatat bumi mengalami kenaikan suhu tertinggi dari sebelumnya dan emisi global naik lagi maka negara-negara di seluruh dunia harus menurunkan setengahnya pada 2030. Menurut PBB, aksi menanggulangi perubahan iklim harus dinaikkan sesuai dengan saran dari para ilmuwan yaitu tidak boleh lebih dari 1,5 derajat Celsius.
Tapi ada beberapa tantangan politik untuk melakukan aksi-aksi penanggulangan perubahan iklim ini terutama dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan pemerintahan presiden Brasil Bolsonaro. Pada tahun-tahun mendatang Bank Dunia akan mulai fokus memberikan bantuan perlindungan dari bencana alam yang disebabkan perubahan iklim.
Sebelumnya dana untuk perlindungan yang disediakan Bank Dunia hanya 5 persen dari total keseluruhan dana yang disediakan untuk perubahan iklim. Tapi bencana alam yang disebabkan pemanasan global semakin sering terjadi, seperti gelombang panas dan kebakaran hutan di Eropa serta Amerika dan banjir besar di India, Jepang, dan timur Afrika.
"Kami sudah melihat dampak mengerikan dari perubahan iklim, kami sangat yakin seharusnya aksi dilakukan dalam mitigasi dan adaptasi," kata Georgieva.
Negara-negara kaya telah berjanji untuk memberikan 100 miliar dolar AS per tahun pada 2020 untuk membantu negara-negara miskin beradaptasi dengan perubahan iklim dan pengembangan energi bersih. Para negosiator di Polandia akan membawa dua belah pihak tersebut untuk membuat kesepakatan agar bisa memenuhi janji tersebut.
"Kami mewakili lebih dari satu miliar orang, orang-orang yang paling tidak memiliki tanggung jawab sebab terjadinya perubahan iklim tapi yang paling rentan menderita dampaknya, semakin lama negara-negara miskin mendukung (dana bantuan) semakin besar biaya yang harus ditanggung," kata ketua kelompok 47 Negara Yang Paling Tidak Berkembang, Gebru Jember Endalew.
Profesor dari Potsdam Institute for Climate Impact Research, Johan Rockström mengatakan negosiator-negosiator di Polandia harus menghasilkan buku pedoman pemerintah bagaimana cara untuk menjalankan kesepakatan Paris 2015. Sehingga, bisa di terlusuri apa saja yang sudah mereka lakukan dan memastikan semua negara menjalankan bagian mereka masing-masing.
"Aturan yang adil dan efektif untuk dihitung harus dibuat, terutama tanggungjawab khusus untuk produsen emisi terbesar seperti AS dan Eropa tapi juga Cina dan India, sementara buku pedoman terdengar membosankan, ini fakta yang esensial," kata Rockström.