REPUBLIKA.CO.ID, MADRID -- Presiden Palestina Mahmoud Abbas dan Paus Fransiskus pada Senin (3/12) melakukan pertemuan di Vatikan. Keduanya membahas masalah Timur Tengah dalam pertemuan tersebut, demikian laporan media Italia.
"Kami berdoa bagi perdamaian pada musim Natal tahun ini dan kami percaya pada anda," kata Abbas kepada Paus dalam pertemuan tersebut.
Paus juga menyampaikan harapannya kepada presiden Palestina itu bagi perdamaian di Timur Tengah. Selama pertemuan tersebut, Abbas menyerahkan kepada Fransiskus hadiah yang memperlihatkan Jerusalem kuno, dan paus memberi medalion yang menggambarkan Basilica of San Pietro pada 1600-an, kata kantor berita Italia.
Sementara itu, Abbas menegaskan dalam satu wawancara dengan harian Italia La Stampa bahwa upaya AS takkan mewujudkan perdamaian di Timur Tengah. "AS tak bisa menjadi satu-satunya penengah di Timur Tengah. Satu negara yang terus-menerus menjatuhkan sanksi hukuman atas rakyat Palestina tak bisa menjadi penengah. Pemimpin AS adalah penghalang di Timur Tengah," kata Abbas.
"Kami tak ingin terus bekerjasama dengan pemerintah AS saat ini," ujar Abbas, sebagaimana dilaporkan Kantor Berita Anadolu.
"Kami takkan setuju dengan keadaan yang melanggar hukum internasiona," katanya menambahkan.
Tahun lalu, Presiden AS Donald Trump menyulut kemarahan internasional dengan mengumumkan rencananya untuk memindahkan Kedutaan Besar Washington di Israel ke Yerusalem dan mengakui kota itu sebagai ibu kota Israel.
Sejak tindakan tersebut pada Mei tahun ini, pemimpin Palestina di Ramallah, Tepi Barat Sungai Yordania, telah menolak setiap perang penengahan oleh AS dalam proses perdamaian Timur tengah, yang hampir mati.
Hukum internasional tetap memandang Yerusalem Timur, bersama dengan seluruh Tepi Barat Sungai Yordania, sebagai "wilayah yang diduduki" dan menganggap semua permukiman Yahudi di sana tidak sah.
Pada Jumat (30/11), duta besar Liga Arab untuk Uni Afrika menyerukan dilancarkannya upaya internasional guna menghidupkan kembali penyelesaian dua-negara antara Palestina dan israel.
"Masyarakat internasional memiliki tanggung-jawab untuk mencegah penyelesaian dua-negara ambruk," kata Sahboun Meloud, saat memberi sambutan kepada ratusan diplomat dan pejabat Uni Afrika dan PBB.
Pernyataannya disampaikan selama peringatan Hari Internasional bagi Solidaritas untuk Rakyat Palestina yang diperingati berdasarkan resolusi PBB.
Menurut Meloud, penyelesaian dua-negara dirusak oleh tindakan AS untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Keputusan ini bertolak-belakang dengan gagasan keabasahan dan resolusi internasional mengenai masalah itu.
"Kami menolak pengakuan AS mengenai Yerusalem sebagai ibu kota Israel," kata Meloud, yang menggambarkan keputusan AS tersebut sebagai tak bisa diterima baik.
Meloud mengatakan keputusan AS dan pemindahan kedutaan besarnya ke Yerusalem menghancurkan hak bangsa Arab. "Itu juga menimbulkan pertanyaan mengenai komitmen AS bagi perdamaian di dunia," katanya.
Duta Besar Palestina untuk Ethiopia Nasri Abujaish, yang berbicara dalam forum tersebut, mengatakan meskipun sejumlah resolusi dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB, tak satupun yang telah dipatuhi dan dilaksanakan oleh Israel.
Sementara itu Kwesi Quartey, Wakil Ketua Komisi Uni Afrika, menyampaikan komitmen badan pan-Afrika tersebut untuk memeliharakan masalah Palestina dengan dasar keabsahan dan hukum internasional.