Selasa 04 Dec 2018 09:56 WIB

Macron Diserang Oposisi Setelah Gagal Kendalikan Demonstrasi

Kenaikan bahan bakar dan pajak menyulut demonstrasi besar di Prancis.

Rep: Lintar Satria/ Red: Nur Aini
Presiden Prancis Emmanuel Macron.
Foto: AP Photo/Thibault Camus
Presiden Prancis Emmanuel Macron.

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Presiden Prancis Emmanuel Macron dinilai tidak memahami kemarahan rakyat yang memicu demonstrasi tiga pekan berturut-turut. Demonstrasi yang berujung kerusuhan itu diorganisir dengan orang-orang yang menyebut diri mereka aktivis 'rompi kuning'.

Demonstrasi itu dipicu kenaikan harga bahan bakar yang diberlakukan Macron untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Oposisi pemerintah ketua partai Les Republicains Laurent Wauquiez mengatakan pemerintah Macron gagal memahami kemarahan publik.

"Satu-satunya hasil dari pertemuan ini adalah kata perdebatan di parlemen, yang kami butuhkan adalah isyarat yang menenangkan, dan ini harus lahir dari satu keputusan yang setiap orang Prancis tunggu: membatalkan kenaikan pajak (bahan bakar),” kata Wauquiez, Selasa (4/12).

Unjuk rasa dimulai pada 17 November lalu dan menjadi tantangan berat bagi presiden berusia 40 tahun itu. Ia mencoba melakukan reformasi ekonomi untuk menaikkan popularitasnya yang kian menurun. Akan tetapi, justru reformasi tersebut dinilai hanya menguntungkan orang kaya.

Polisi anti-huru-hara diterjunkan setelah pengunjuk rasa melakukan kerusuhan di lingkungan paling mewah di Paris. Mereka membakar mobil, menjarah butik, dan memecahkan jendela rumah-rumah mewah dan kafe, yang menciptakan kerusuhan paling buruk di Paris sejak 1968.

Kerusuhan itu memukul perekonomian Prancis. Pemesanan kamar hotel menurun drastis, menurunkan penjual pengusaha kecil, mengganggu investasi, dan perusahaan bahan bakar Prancis. Total mengatakan beberapa SPBU mereka kehabisan bahan bakar.

Para pengunjuk rasa 'rompi kuning' ini berasal dari berbagai latar belakang, usia, dan wilayah. Dimulai melalui jaringan media sosial yang mengkritik kenaikan harga bahan bakar tapi akhirnya meluas menjadi kemarahan karena biaya hidup rakyat kelas menengah semakin tinggi.

Mereka yang melakukan unjuk rasa kebanyakan berasal dari kelas menengah kerah biru dari luar kota Paris. Karena mereka tidak memiliki pemimpin maka pemerintah pun semakin sulit untuk menghentikan unjuk rasa ini.

Intinya mereka ingin pemerintah Prancis menghentikan kenaikan pajak bahan bakar dan memastikan biaya hidup tetap terjangkau. Tapi mereka juga meminta agar Macron mengundurkan diri dan pembicaraan tentang revolusi juga bergema. Pemerintah Prancis kesulitan mencari cara merangkul para penunjuk rasa.

"Membuat gerakan kecil dan menyapu masalah ke bawah karpet, seperti yang dilakukan dalam 30 tahun terakhir, tidak akan menyelesaikan masalah yang lebih dalam, masalah struktural," kata jurubicara pemerintah Benjamin Griveaux di radio France Inter.

Dalam jajak pendapat yang dilakukan Harris Interactive terlihat masyarakat mendukung gerakan ini. Sebanyak tujuh dari 10 orang rakyat Prancis mendukung unjuk rasa yang dilakukan 'rompi kuning'.

Macron mengatakan kenaikan pajak bahan bakar menjadi salah satu upaya untuk melawan perubahan iklim. Ia membujuk pengguna kendaraan bermotor di Prancis untuk mengggunakan kendaraan berbahan bakar disel untuk mengurangi polusi. Macron sudah mengatakan ia tidak akan menghentikan kebijakannya.

Pemerintah di seluruh dunia tengah melakukan pembicaraan tentang perubahan iklim selama dua pekan di Polandia. Para pengunjuk rasa mengkritik betapa mahalnya tindakan yang disarankan.

Baca: Demonstran Rompi Kuning: Ada Ketidakadilan Sosial di Prancis

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement