Rabu 05 Dec 2018 11:42 WIB

Empat Orang Didakwa Terlibat Skandal Panama Papers

Skandal Panama Papers mengungkap cara orang kaya dunia menyembunyikan uang.

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Nur Aini
Dokumen Panama Papers.
Foto: confidencial
Dokumen Panama Papers.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Pemerintah federal Amerika mendakwa empat orang yang dituduh terlibat dalam skema pencucian uang antarbenua yang melibatkan firma hukum global yang berbasis di Panama, yang dikenal dengan Panama Papers. Sebanyak 11 dakwaan disegel di pengadilan Manhattan, dalam penuntutan pertama yang dilakukan AS pada Selasa (4/12).

Empat orang yang ada dalam dakwaan itu adalah Ramses Owens (50 tahun), seorang pengacara Panama yang bekerja untuk firma hukum Mossack Fonseca; Dirk Brauer (54 tahun), seorang manajer investasi Jerman; Harald Joachim Von Der Goltz (81 tahun) dari Jerman; dan Richard Gaffey, seorang akuntan dari Medfield, Massachusetts.

Seorang pengacara untuk Von Der Goltz, Jeffrey Neiman, menyebut dakwaan itu sebagai upaya putus asa untuk menyelamatkan Amerika dari Panama Papers. Dia mengatakan kliennya akan membuktikan kebenarannya di pengadilan.

Owens dan Brauer dituduh mendirikan dan mengelola perusahaan offshore dan rekening bank yang tidak diumumkan atas nama klien pembayar pajak Amerika dari Mossack Fonseca. Kedua pria itu mengatur rekening di negara-negara yang memiliki undang-undang kerahasiaan bank yang ketat, sehingga sulit bagi AS untuk mendapatkan catatan bank terkait dengan rekening tersebut. Mereka juga diduga memberi tahu klien Amerika bagaimana cara mengembalikan dana tanpa mengungkapkan keberadaan rekening, termasuk dengan menggunakan kartu debit dan penjualan fiktif.

Von Der Goltz, mantan penduduk AS, dituduh menghindari pajak sebagian dengan menyembunyikan kepemilikannya atas perusahaan-perusahaan cangkang tertentu dan menyembunyikan rekening bank dari IRS.

Panama Papers memasukkan 11 juta dokumen keuangan rahasia yang menggambarkan bagaimana beberapa orang terkaya di dunia menyembunyikan uang mereka. Catatan itu pertama kali bocor ke Suddeutsche Zeitung, surat kabar utama Jerman, dan dibagikan kepada International Consortium of Investigative Journalists, yang mulai menerbitkan laporan kolaboratif dengan organisasi berita lain pada 2016.

Dampak dari kebocoran itu sangat besar, hingga mendorong pengunduran diri perdana menteri Islandia. Sementara, pemimpin negara lainnya berada di bawah pengawasan, seperti pemimpin Argentina dan Ukraina, politisi Cina, dan bahkan Presiden Rusia Vladimir Putin.

Jaksa Agung Geoffrey Berman mengatakan firma hukum Mossack Fonseca bersekongkol untuk menghindari undang-undang AS demi mempertahankan kekayaan kliennya. Firma itu juga menyembunyikan uang pajak yang harus dibayarkan kepada Internal Revenue Service (IRS). Mereka mengatakan skema ini berlaku sampai tahun 2000 dan melibatkan yayasan serta perusahaan palsu di Panama, Hong Kong, dan Kepulauan Virgin Britania Raya.

Jaksa penuntut mengatakan nama-nama klien perusahaan umumnya tidak muncul di dokumen penggabungan meskipun mereka memiliki akses lengkap ke aset dan akun mereka. Jaksa Agung Berman mengatakan, para terdakwa memutar uang jutaan dolar AS melalui rekening luar negeri dan memiliki sebuah pedoman untuk memulangkan uang yang tidak dikenakan pajak ke dalam sistem perbankan AS.

"Sekarang skema pajak internasional mereka sudah berakhir, dan para terdakwa ini akan menghadapi ancaman bertahun-tahun penjara atas kejahatan mereka," kata Berman dalam sebuah pernyataan.

Firma hukum itu memiliki klien Amerika yang relatif sedikit. Kebocoran data menunjukkan salinan sekitar 200 paspor Amerika, dan sekitar 3.500 pemegang saham di perusahaan-perusahaan offshore yang terdaftar di AS. Angka itu hanya sebagian kecil dari lebih dari 250 ribu perusahaan yang didirikan Mossack Fonseca untuk klien mereka dalam empat dekade berbisnis.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement