REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Korea Selatan (Korsel) sedang bersiap untuk membuka kantor penghubung di Kota Kaesong, Korea Utara (Korut), di musim panas ini, setelah hampir satu dekade tidak ada kontak dengan musuh lamanya itu. Namun, para pejabat Korsel masih sibuk berdebat, apakah mereka harus meminta persetujuan dari Amerika Serikat (AS).
Beberapa pembantu utama Presiden Korsel Moon Jae-in menekankan, pembukaan kantor penghubung adalah urusan kedua Korea saja dan tidak perlu melibatkan AS. Tetapi secara mengejutkan, Menteri Unifikasi Korsel Cho Myoung-gyon berpendapat Washington harus dikonsultasikan karena rencana Seoul mungkin akan bertabrakan dengan sanksi yang dikenakan pada Korut atas program senjata nuklirnya.
Beberapa negara, termasuk Inggris, Jerman, dan Swedia diketahui telah memiliki kedutaan besar di Pyongyang. Pejabat Korsel lainnya melihat kantor penghubung yang diusulkan di Kaesong itu sebagai upaya kontak di level yang jauh lebih rendah dengan Korut.
Mereka tentu saja tidak mengharapkan Cho sebagai advokat terdepan untuk penegakan sanksi yang ketat terhadap Pyongyang. Cho dipilih secara pribadi oleh Moon untuk mengepalai Kementerian Unifikasi, yang misi utamanya adalah untuk mendorong rekonsiliasi, kerja sama, dan akhirnya reunifikasi dengan Korut.
Atas usul Cho dan diplomat senior, Seoul akhirnya meminta izin AS sebelum membuka kantor pada September tahun depan. Cho menolak berkomentar, tetapi seorang pejabat senior di Kementerian Unifikasi mengatakan mereka sadar akan kritik terhadap Cho.
Beberapa pejabat pemerintahan Korsel berpendapat, Seoul tidak mampu mengabaikan sanksi AS sampai Pyongyang menyerahkan program senjata nuklirnya. Sementara yang lain merasa hubungan antar-Korea yang lebih dekat dapat membantu mempercepat proses diplomatik yang macet.
"Jika keretakan internal menyebabkan pergerakan terlalu cepat dengan Korut tanpa konsultasi dengan AS, itu bisa menimbulkan kemunduran tidak hanya mengenai pembicaraan nuklir tetapi juga aliansi dan hubungan antar Korea," kata Shin Beom-chul, dari Asian Institute for Policy Studies di Seoul.
Setelah hubungan yang mencair antar-Korea memberi jalan untuk upaya rekonsiliasi antara pemimpin Korut Kim Jong-un dan Presiden AS Donald Trump awal tahun ini, Trump meminta Moon untuk menjadi juru runding di antara keduanya. Tugas itu menjadi semakin sulit ketika Washington dan Pyongyang saling menyalahkan karena pembicaraan nuklir yang macet.
Pejabat AS bersikeras, sanksi harus tetap diberlakukan sampai Korut sepenuhnya melakukan denuklirisasi. Sementara, Korut mengatakan telah membuat konsesi dengan membongkar fasilitas nuklir utama dan Washington harus membalasnya dengan mengurangi sanksi dan menyatakan Perang Korea 1950-53 telah berakhir.
"Tidak seperti penasihat lain, Menteri Cho telah menyetarakan keinginannya yang kuat untuk perdamaian dengan pemahaman tentang pentingnya mempertahankan keberpihakan Korea Selatan-AS yang kuat," kata Patrick Cronin dari Centre for a New American Security, seorang pakar Asia yang sangat dekat dengan pejabat AS dan Korsel.
Blue House menolak berkomentar, tetapi Moon mengatakan kepada wartawan pada Senin (3/12), bahwa perselisihan antara Korsel dan AS tidak berdasar karena tidak ada perbedaan dalam posisi kedua negara terhadap denuklirisasi Korut.
Selama tiga pertemuan puncak tahun ini, Moon dan Kim setuju untuk menghubungkan kembali rel kereta api dan jalan. Selain itu, ketika semua syarat terpenuhi, mereka akan memulai membangun kembali taman pabrik bersama di Kaesong dan tur ke resor Gunung Kumgang di Korut yang telah ditunda selama bertahun-tahun.
Tak satu pun dari rencana tersebut yang telah mengalami banyak kemajuan, baik karena sanksi melarang mereka secara langsung, atau seperti dalam kasus Kaesong, Seoul meluangkan waktu untuk meyakinkan para pejabat AS yang skeptis bahwa proyek lintas batas tidak akan melemahkan sanksi.
Korut merupakan mitra yang tidak dapat diprediksi. Dalam diskusi mengenai Kaesong, para perunding Pyongyang sering tidak muncul untuk melakukan pertemuan mingguan yang dijadwalkan tanpa pemberitahuan.