REPUBLIKA.CO.ID, NAY PYI DAW -- Kesepakatan repatriasi yang telah dicapai Myanmar dan Bangladesh tak menghentikan arus pengungsi Rohingya. Selama sebulan terakhir, sedikitnya enam perahu yang membawa ratusan orang Rohingya dicegat di laut.
Gelombang baru pengungsi Rohingya itu terjadi seiring dengan mulai berakhirnya musim hujan. Mereka diyakini melakukan pelayaran menggunakan perahu dari Laut Andaman guna mencari perlindungan ke Malaysia dan Thailand.
Pekan lalu angkatan laut Myanmar menangkap 38 rohingya, 19 pria, 11 wanita, dan delapan anak-anak di Laut Andaman. Mereka dilaporkan berusaha melakukan perjalanan ke Malaysia.
Mereka yang berada di kapal sempat ditahan otoritas Myanmar. Setelah itu, mereka dipulangkan ke negara bagian Rakhine.
Bulan lalu, otoritas Myanmar juga berhasil menangkap 93 orang Rohingya yang mencoba melarikan diri dari Sittwe dan kamp Darpaing di Rakhine. Dari beberapa kapal yang dicegat, satu di antaranya hendak menuju Malaysia.
Pada Selasa (4/12), 20 orang yang diyakini pengungsi Rohingya mendarat di kota Kuala Idi, Aceh. Masyarakat setempat memberinya makanan dan air karena kondisinya cukup mengkhawatirkan.
Kepala komunitas nelayan setempat, Razali mengungkapkan 20 orang Rohingya itu sebenarnya berencana menuju Malaysia. Namun tak diketahui mengapa mereka justru mendarat di Indonesia.
"Perahu mereka masih berfungsi dan mereka memiliki bahan bakar, jadi kami tidak tahu mengapa mereka memasuki daerah kami," kata Razali.
Mereka yang berada di kapal rata-rata pria berusia sekitar 20 tahun. Masih belum diketahui apakah mereka melakukan pelayaran dari Myanmar atau Bangladesh. "Kami tidak dapat berkomunikasi dengan mereka karena mereka tidak bisa berbahasa Indonesia atau Inggris. Jadi kami tidak tahu banyak tentang mereka," ujar Iswandi, kepala distrik Idi Rayeuk, dikutip laman the Guardian.
Pada 2015, ribuan pengungsi Rohingya pernah mendarat di Indonesia dan Malaysia setelah sebelumnya terombang-ambing di Laut Andaman. "Ada perbedaan antara pola gerakan-gerakan ini dibandingkan pada 2015," kata juru bicara Badan PBB untuk Pengungsi (UNHCR) Caroline Gluck.
Ia menilai, ada indikasi pelayaran yang dilakukan oleh orang-orang Rohingya baru-baru ini hendak menuju tujuan berbeda. Sebab, sebelumnya mereka lebih memilih menyeberang ke Bangladesh.
"Perahu-perahu itu lebih kecil dan menampung lebih sedikit penumpang. Titik diembarkasi telah berubah dan upaya yang lebih kuat sedang dilakukan pihak berwenang Bangladesh serta Myanmar untuk mencegah kapal-kapal mulai berlayar ke laut," ujar Gluck.
Masih berlangsungnya gelombang pengungsi Rohingya menimbulkan pertanyaan tentang situasi keamanan di Rakhine. Padahal bulan ini, Myanmar dan Bangladesh telah menyepakati proses repatriasi 2.200 pengungsi Rohingya.
Kendati demikian, PBB mendesak kedua negara menghentikan proses repatriasi tersebut karena dinilai belum dilakukan atas dasar sukarela. Komisioner Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Michelle Bachelet mengatakan masih ada rasa kepanikan dan kecemasan di kalangan pengungsi Rohingya yang akan dipulangkan ke Myanmar.
“Pengungsi (Rohingya) telah berulang kali menyatakan bahwa mereka tidak ingin kembali dalam kondisi saat ini. Beberapa keluarga pengungsi yang tampaknya terdaftar untuk kembali dipimpin perempuan atau anak-anak,” kata Bachelet.
Di sisi lain, pemulangan paksa para pengungsi juga melanggar hukum internasional. “Pengusiran paksa atau pengembalian pengungsi dan pencari suaka ke negara asal mereka akan menjadi pelanggaran yang jelas terhadap prinsip hukum inti dari non-refoulment, yang melarang repatriasi di mana ada ancaman penganiayaan atau risiko serius terhadap kehidupan dan integritas fisik atau kebebasan dari individu,” ujar Bachelet.
Ia menyerukan kepada Myanmar menunjukkan keseriusan dalam menciptakan kondisi yang aman dan kondusif bagi para pengungsi Rohingya untuk kembali. Hal itu termasuk dengan tidak memperlakukan mereka secara diskriminatif.