REPUBLIKA.CO.ID, DUBAI -- Uni Emirat Arab menilai Dewan Kerja Sama Negara Teluk (GCC) akan tetap kuat meski sedang dilanda konflik dengan Qatar. Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain dan satu negara yang bukan anggota GCC, yakni Mesir melakukan aksi boikot, baik secara politik dan ekonomi ke Qatar sejak Juni 2017 lalu.
Boikot itu dilakukan dengan alasan Qatar mendukung kelompok teroris. Qatar membantah tuduhan tersebut dan mengatakan, boikot tersebut dilakukan untuk melanggar kedaulatan mereka.
"Kesuksesan utama dewan ini adalah di aspek ekonomi dan membuat pasar setara negara-negara Teluk, krisis politik akan berakhir jika penyebab di baliknya berakhir dan itu adalah Qatar yang mendukung ekstremis dan mengintervensi stabilitas kawasan," kata Menteri Luar Negeri Uni Emirat Arab Anwar Gargash, Kamis (6/12).
Baca juga, Qatar akan Tarik Diri dari OPEC, Ada Apa?
Perselisihan dengan Qatar ini telah merusak peran organisasi persatuan di kawasan negara-negara Teluk itu. GCC didirikan pada 1980 yang terdiri atas enam negara sebagai sebagai benteng pengaruh dua negara tetangga mereka yakni Irak dan Iran.
Pada pekan lalu Qatar juga tiba-tiba mengumumkan akan keluar dari OPEC setelah bergabung selama 57 tahun. Keluarnya Qatar dari badan yang fokus mengatur perdagangan minyak ini jelas memukul Arab Saudi sebagai pemimpin de facto negara-negara eksportir minyak.
Para diplomat dan pengamat melihat langkah ini dapat menciptakan kemungkinan adanya resolusi jangka pendek GCC dengan Qatar dalam pertemuan mereka pekan ini. GCC akan menggelar pertemuan di Riyadh, Arab Saudi pada 9 Desember mendatang.
Raja Arab Saudi sudah mengundang Emir Qatar untuk hadir dan bergabung dengan pemimpin-pemimpin negara lainnya. Tapi sampai saat ini Qatar belum mengumumkan akan mengirimkan perwakilannya ke sana.