REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Konferensi Tingkat Tinggi Dewan Kerjasama Teluk (GCC) dibuka pada Ahad (9/12) di Riyadh. KTT ini dihadapi dengan beberapa krisis.
Mulai dari krisis diplomatik negara Arab dengan Qatar serta pembunuhan jurnalis Saudi Jamal Khashoggi. Pertemuan tahunan pemimpin dari enam negara anggota GCC ini diharapkan fokus pada masalah keamanan, termasuk perang Yaman dan kegiatan regional Iran.
KTT ini kemungkinan juga akan membahas krisis diplomatik negara Arab dengan Qatar. Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain dan anggota non-GCC Mesir memutuskan hubungan diplomatik dan ekonomi dengan Qatar pada Juni 2017. Mereka menuduh Qatar mendukung terorisme.
Qatar Ungkap Alasan Pilih Hengkang dari OPEC
Qatar, yang pekan lalu mengumumkan keluar dari anggota OPEC, menyangkal tuduhan tersebut. Qatar mengatakan boikot itu bertujuan untuk membatasi kedaulatannya.
Raja Saudi Salman bin AbdulAziz telah mengundang emir Qatar untuk menghadiri KTT itu. Tetapi Qatar belum mengatakan siapa yang akan dikirim untuk menghadiri KTT. Emir Qatar menghadiri KTT tahun lalu di Kuwait, namun Arab Saudi, UAE dan Bahrain justru mengirim lebih banyak pejabat junior.
GCC didirikan pada 1980 oleh Arab Saudi, UEA, Bahrain, Oman, Qatar dan Kuwait. Hubungan negara-negara itu juga mengalami ketegangan dengan Riyadh atas kendali ladang minyak bersama.
Arab Saudi telah menolak memperbarui tekanan AS untuk mengakhiri perselisihan di Qatar. Saudi menghadapi kecaman global atas pembunuhan Khashoggi. Riyadh juga sedang mendapat perhatian terkait penanganan kerajaan dalam menghadapi perbedaan pendapat.
Kelompok hak asasi Amnesty International menyerukan kepada negara-negara GCC untuk membebaskan aktivis di wilayah tersebut. Pemerintah Saudi menunjukkan sedikit toleransi terhadap perbedaan pendapat atau kritik kepadapara penguasa.
"Para pemimpin Teluk tidak dapat lagi beroperasi dengan asumsi bahwa mereka memiliki kekuasaan penuh untuk memperlakukan warganya seperti penjahat setiap kali mereka menyatakan ketidaksetujuan tanpa takut akan dampak internasional," kata Heba Morayef, Direktur Kampanye Timur Tengah.
AS telah meningkatkan tekanan kepada Riyadh setelah pembunuhan Kashoggi untuk mengakhiri perang Yaman dan memperbaiki hubungan dengan Qatar. Washington ingin negara-negara Teluk bersatu dalam melawan Iran.
Keluarnya Qatar dari OPEC setelah 57 tahun menjadi anggota tampaknya menjadi pukulan bagi pemimpin de facto OPEC Saudi Arabia. Langkah ini semakin memperkuat dugaan analisis bahwa setiap prospek untuk resolusi jangka pendek dalam menyelesaikan sengketa itu tidak mungkin terjadi di KTT Riyadh.
Sementara itu negara-negara yang memboikot mengatakan perselisihan diplomatik dengan Qatar bukan prioritas utama KTT GCC. Namun Qatar mengatakan perselisihan itu merusak keamanan regional dengan melemahkan blok tersebut.
Hubungan juga memburuk antara Arab Saudi dan Kuwait atas produksi minyak dari dua ladang minyak yang dikelola bersama di Zona Netral. Pembicaraan pada September lalu gagal mencapai kesepakatan.