REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- CEO Twitter Jack Dorsey sadar akan adanya pelanggaran HAM dan penderitaan yang terjadi di Myanmar. Pernyataan itu disampaikan Dorsey sebagai tanggapan atas banyaknya kritik yang ia terima setelah memuji Myanmar dalam cicitannya.
Lebih dari 730 ribu warga Rohingya melarikan diri dari tindakan keras tentara Myanmar di Negara Bagian Rakhine Myanmar pada 2017. Penindasan ini diluncurkan sebagai tanggapan terhadap serangan militan Rohingya terhadap pasukan keamanan Myanmar.
Dorsey mencicit mengenai keindahan alam Myanmar saat ia mengunjungi negara itu beberapa waktu lalu. "Myanmar adalah negara yang benar-benar indah. Orang-orangnya penuh dengan kegembiraan dan makanannya luar biasa," tulis Dorsey.
Baca juga, CEO Twitter Dikecam karena Dinilai tak Peka Nasib Rohingya.
Dia kemudian mengunggah foto-foto ruang biara yang tandus tempat ia tinggal di negara itu selama bermeditasi, tetapi tidak ada referensi mengenai krisis Rohingya. Cicitan Dorsey tersebut menuai banyak hujatan dari pengamat hak asasi manusia dan pengguna Twitter.
Menurut Dorsey, kunjungannya ke Myanmar murni karena keinginan pribadi dan dia tidak berniat untuk tidak mengangkat masalah HAM di Myanmar. "Saya mengakui, saya tidak cukup tahu dan perlu mempelajari lebih lanjut," ujar dia.
Dorsey mengatakan, Twitter adalah cara bagi orang-orang untuk berbagi berita dan informasi tentang peristiwa di Myanmar. "(Twitter) menjadi saksi atas penderitaan Rohingya dan masyarakat lainnya," ungkapnya.
"Kami aktif bekerja untuk mengatasi masalah yang muncul, termasuk ekstremisme, kekerasan, dan perilaku kebencian," tambah dia.
Bulan lalu, Dorsey juga memicu kritik di media sosial di India setelah mengunggah foto dirinya dengan sebuah plakat bertuliskan "Smash Brahminical patriarchy", merujuk pada kasta tertinggi Hindu. Twitter kemudian meminta maaf atas foto itu.