REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam tindakan yang jarang terjadi, maskapai penerbangan Lion Air setuju untuk membiayai usaha pencarian lebih canggih. Pencarian itu guna menemukan rekaman pembicaraan pilot pesawat Boeing 737 yang jatuh di Laut Jawa bulan Oktober lalu yang menewaskan 189 orang.
Perusahaan itu mengatakan akan mengeluarkan dana sekitar 4,2 juta dolar Australia (sekitar Rp 42 miliar) untuk menurunkan sebuah kapal khusus selama 10 hari yang akan dimulai minggu depan guna menemukan kotak rekaman tersebut. Kapal tersebut akan mencari di dasar laut yang dihalangi oleh banyak pipa minyak, dimana bangkai utama pesawat kemungkinan berada.
Minggu ini dilaporkan bahwa pihak berwenang Indonesia tidak memiliki dana untuk melakukan pencarian yang lebih canggih. Baru separuh dari bangkai pesawat dan isinya berhasil ditemukan. Namun keluarga korban marah karena usaha pencarian korban sudah diakhiri.
Beberapa di antara keluarga korban menginginkan agar pabrik pembuat pesawat tersebut Boeing yang mengambil alih pencarian. Menurut laporan, sudah ada sekitar 125 jasad korban yang ditemukan dan diidentifikasi. Sisanya 64 orang masih belum ditemukan, lebih dari enam minggu setelah kejadian.
Seorang pengacara di Amerika Serikat yang menjadi kuasa hukum dua keluarga - yang sudah mengugat Boeing - sudah mengirimkan surat kepada perusahaan itu agar mengambil alih pencarian korban dan nemenukan kotak rekaman pembicaraan pilot.
Pengacara asal California Brian Kabateck mengatakan perusahaan itu 'berhutang kepada keluarga penumpang' untuk menemukan jasad ' tanpa penundaan lagi." "Martabat penumpang dan keluarganya termasuk agama yang mereka anut menghendaki adanya penemuan jasad korban." tulis pengacara tersebut.
"Ini masalah etika dan moral Boeing, bukan masalah legal atau yang lainnya."
Kabateck juga menuduh bahwa Boeing lebih banyak berusaha agar tidak diminta pertanggungjawaban dibandingkan membantu keluarga dari korban yang masih belum ditemukan.
"Anda tampaknya berusaha menghabiskan dana dalam jumlah besar guna menemukan bagian dari pesawat untuk menunjukkan bahwa itu bukan kesalahan anda, namun tidak mau menghabiskan dana berusaha menemukan jasad penumpang pesawat penerbangan 610." tulis pengacara itu lagi.
"Kami mendesak agar perhatian dialihkan untuk menemukan penumpang segera, dan lebih memikirkan keluarga korban sementara pencarian terus dilakukan."
Salah satu dari dua perempuan yang diwakili oleh Kabateck Dayinta Dyah Anggana mengatakan tubuh ibunya yang tewas dalam kecelakaan sudah ditemukan dan dikuburkan. Tetapi dia bersimpati dengan keluarga korban lain yang belum ditemukan.
"Keluarga kami masih berduka karena kami tidak bisa mengadakan upacara penguburan, hal yang merupakan budaya di Indonesia." katanya.
"Saya juga sedih ketika melihat perasaan keluarga lain yang jasadnya belum ditemukan."
"Saya juga yakin bahwa Boeing memiliki sumber daya untuk terus melanjutkan pencarian, jadi mengapa mereka tidak mau membantu."
Anton Sahadi juga kehilangan dua keponakan dalam musibah tersebut. Muhammad Ravi Andrian dan Riyan Aryandi, keduanya berusia 24 tahun dalam perjalanan pulang ke Pangkal Pinang setelah menghabiskan akhir pekan di Jakarta. Sejauh ini baru jasad Ravi Andrian yang ditemukan.
Sahadi termasuk dalam 20 orang yang mengadakan protes di depan Istana Merdeka Jakarta pada Kamis (13/12) mendesak adanya pencarian baru guna menemukan korban.
"Kami percaya sanak keluarga kami - 64 orang - masih berada di bawah permukaan laut, terendam di dalam lumpur."
"Kami percaya mereka masih di sana. Jadi lakukan pencarian lagi sehingga mereka bisa ditemukan."
Indonesia tidak memiliki dana untuk terus melakukan pencarian
Pemerintah Indonesia menghentikan usaha pencarian korban beberapa minggu lalu, namun terus berusaha menemukan kotak berisi percakapan pilot tetapi belum berhasil. Diungkapkan minggu ini pendanaan dan masalah birokrasi menghambat usaha pencarian.
Penyidik di Jakarta mengatakan masalah dana membuat usaha pencarian hidung pesawat dan kotak rekaman pembicaraan menjadi sulit, padahal itu penting untuk mengetahui dengan pasti apa yang menyebab pesawat jatuh. Sekarang Lion Air setuju untuk mendanai pencarian, yang akan dimulai hari Senin, dan menimbulkan pertanyaan mengenai kemandirian usaha penyelidikan.
Aturan PBB mengharuskan usaha pencarian dan penyelidikan harus dilakukan oleh pihak independen, bukan oleh maskapai pemilik pesawat. Kabateck mengatakan penting sekali sekarang bagi Boeing - dan bukannya Lion Air - yang melakukan pencarian tidak saja menemukan korban namun juga pesawat itu sendiri.
"Bukanlah hal yang benar hanya mencari bagian dari pesawat yang akan bisa digunakan untuk melarikan diri dari tanggung jawab," kata Kabateck.
"Karenanya kami mendesak agar anda segera berusaha mencari keseluruhan bangkai pesawat."
Boeing menolak pendapat bahwa mereka harus bertanggung jawab untuk mencari bangkai pesawat ataupun korban di dalamnya. "Pemerintah Indonesia adalah satu=satunya yang bertanggung jawab melakukan penyelidikan termasuk menguasai bangkai pesawat dan meneliti sisa pesawat, dan juga pencarian pesawat dan mereka yang ada di dalamnya." kata Mack H Shultz dalam surat kepada Kabateck minggu ini.
"Boeing bekerja sama sepenuhnya dalam usaha tersebut, namun permintaan apapun berkenaan dengan penyelidikan, bangkai pesawat dan usaha pencarian harus ditujukan kepada pihak berwenang di Indonesia."
Firma hukum berebut untuk mewakili keluarga korban
Desakan terbaru terhadap Boeing ini muncul di saat delapan firma hukum di Amerika Serikat berebut untuk mewakili keluarga korban, dalam usaha menggugat perusahaan tersebut dengan tuduhan Boeing bertanggung jawab atas kerusakan pesawat yang menyebabkan kecelakaan. Pengacara dari dua firma hukum terpisah di Chicago, Ribbeck dan Gardiner Koch Weisberg & Wrona, berada di Jakarta minggu ini bertemu dengan sanak keluarga korban yang tertarik untuk mengajukan gugatan terhadap Boeing.
Pengacara Manuel von Ribbeck mengatakan keluarga dari sedikitnya 25 korban Lion Air telah setuju untuk melakukan class action senilai 100 juta dolar AS terhadap perusahaan tersebut. Gugatan sudah diajukan ke Pengadialn Cook County di Amerika Serikat.
Sementara itu, Thomas Gardiner, seorang pengacara dari Firma Gardiner Koch Weisberg & Wrona sedang berunding dengan keluarga kopilot Harvino mengenai gugatan terpisah.
Von Ribbeck mengatakan Lion Air - lewat perusahaan asuransinya telah menawarkan kompensasi sekitar 119 ribu dolar Australia (sekitar Rp 1,5 miliar), yang menurutnya jauh lebih kecil dari kompensasi bagi korban dalam kecelakaan serupa di Amerika Serikat atau Eropa. Dia mengatakan beberapa orang sudah menerima tawaran tersebut. Oleh karenanya, mereka tidak bisa lagi menggugat Boeing untuk kompensasi lebih tinggi bila nantinya pengadilan memenangkan gugatan keluarga korban.
"Tentu saja perusahaan asuransi berusaha membayar sekecil mungkin, dan kami akan berusaha meminta pengadilan memberikan kompensasi setinggi mungkin." kata von Ribbeck.
Dua firma hukum AS lainnya, Colson Hicks Eidson dan BartlettChen, sudah mengajukan gugatan bersama atas nama satu keluarga korban lainnya. Sementara itu, sebuah firma hukum di Chicago lainnya, Wisner Law, mengatakan bahwa mereka mewakili beberapa keluarga dalam gugatan terpisah terhadap Boeing.
Dalam situsnya, firma tersebut memperingatkan adanya pendekatan yang dilakukan oleh 'pengacara yang tidak etis' terhadap keluarga korban. Tindakan seperti itu katanya melanggar 'peraturan federal Amerika Serikat yang melarang kontak dengan keluarga dalam masa 45 hari sejak kecelakaan."
Lihat beritanya dalam bahasa Inggris di sini