REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat merespons sikap Australia yang telah secara resmi mengakui Yerusalem Barat sebagai Ibu Kota Israel. Keputusan ini mengubah kebijakan Australia selama puluhan tahun.
Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri, Muhyiddin Junaidi mengatakan, Australia telah melakukan kesalahan besar karena mengeluarkan kebijakan tersebut. Ia pun meminta agar pemerintah Indonesia memanggil Dubes Australia di Indonesia untuk mendapatkan klarifikasi lengkap.
"MUI menilai kebijakan tersebut adalah sebuah blunder besar dan kesalahan fatal bagi Australia," ujar Muhyiddin kepada Republika.co.id, Ahad (16/12).
MUI juga meminta agar Pemerintah Indonesia mengkaji ulang hubungan diplomasi dengan Australia. Menurut Muhyiddin, selama ini banyak kebijakannya yang sering merugikan Indonesia dan umat Islam.
"Kebijakan tersebut sangat mencederai perasaan umat Islam dunia, khususnya Indonesia yang merupakan mitra Australia dan negara sahabat," ucap Muhyiddin.
Dia mengatakan, kebijakan luar negeri Australia secara kasat mata terlalu berpihak ke Barat. Bahkan, kata dia, Australia pernah mengklaim sebagai sherif Amerika Serikat di kawasan.
"Australia sering menerapkan kebijakan ganda atau double standard policy, contoh nyatanya di kasus Refrendum Timor Timur dan Organisasi Papua Merdeka (OPM)," kata Muhyiddin.
Australia telah secara resmi mengakui Yerusalem Barat sebagai Ibu Kota Israel. Namun, Perdana Menteri Australia Scott Morrison pada Sabtu (15/12) mengatakan, Australia tidak akan bersegera memindahkan kedutaannya dari Tel Aviv ke Yerusalem.
"Australia sekarang mengakui Yerusalem Barat, yang menjadi pusat Knesset (Parlemen Israel) dan banyak lembaga pemerintahan, adalah ibu kota Israel. Kami berharap untuk memindahkan kedutaan kami ke Yerusalem Barat setelah penentuan status akhir," katanya kepada wartawan di Sydney.