REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Departemen Kehakiman Amerika Serikat (AS) telah mendakwa dua pria asal Cina yang dituduh meretas jaringan komputer perusahaan-perusahaan dan lembaga pemerintah di negara-negara Barat. Kedua pria tersebut bernama Zhu Hua dan Zhang Shilong, mereka masih belum ditangkap.
Dua pria tersebut diduga bagian dari kelompok hackers (peretas) yang dikenal sebagai Advanced Persistent Threat 10. Mereka diindikasi berafiliasi dengan dinas intelijen Cina. AS dan Inggris pun menuduh Cina melanggar perjanjian yang berhubungan dengan spionase komersial.
Pengadilan AS mengatakan, Zhu dan Zhang bekerja untuk sebuah perusahaan bernama Huaying Haitai dan berafiliasi dengan Kementerian Keamanan Negara Cina. Sementara, Federal Bureau of Investigation (FBI) mengatakan, sejak 2006 sampai 2018, dua pria itu meretas sistem komputer dengan tujuan mencuri kekayaan intelektual, informasi bisnis dan teknologi rahasia.
Dilansir dari BBC, Jumat (21/12), dua pria itu mencuri informasi dari sekitar 45 perusahaan komersial dan teknologi pertahanan di 12 negara bagian AS. Mereka mencuri informasi dari sejumlah lembaga pemerintah AS. Mereka juga mencuri informasi dari managed service providers (MSPs) dan klien komersial mereka di 12 negara di antaranya di Inggris, Brasil, Kanada, Finlandia, Prancis, Jerman, India, Jepang, Swedia, Swiss, UEA, dan AS.
FBI mengatakan, dua pria tersebut juga meretas sistem komputer Angkatan Laut AS. Kemudian mereka mencuri informasi pribadi sekitar 100 ribu personel. Direktur FBI, Christopher Wray mengatakan, kedua pria itu sekarang di luar yurisdiksi AS.
Sementara Wakil Jaksa Agung AS, Rod Rosenstein mengatakan, Cina telah melanggar perjanjian tahun 2015, yakni perjanjian untuk tidak terlibat dalam mata-mata cyber komersial. "Kami ingin Cina menghentikan kegiatan cyber ilegalnya," kata Rosenstein.
Pemerintah Inggris juga mengatakan, pihaknya bergabung dengan sekutu menekan Pemerintah Cina yang bertanggung jawab atas operasi global yang menargetkan rahasia komersial. Menteri Luar Negeri Inggris, Jeremy Hunt mengatakan, operasi tersebut adalah salah satu peretasan yang paling signifikan dan luas terhadap Inggris dan sekutunya. Operasi itu menargetkan rahasia perdagangan dan ekonomi di seluruh dunia. "Kegiatan-kegiatan itu harus dihentikan," ujarnya.
Baca: Warga Palestina Gelar Shalat Gaib untuk Muslim Uighur